Refleksi Diplomasi Orde Baru: Tinjauan Kepemimpinan Indonesia dalam Gerakan Non Blok 1992-1995

Rabu, 02 Juni 2010 20.06 By diplomasi senin 1245

Nama : Anantama Pradipta
NIM : 206000008


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sepanjang abad ke 20 kajian hubungan internasional dipenuhi oleh kajian tentang konflik antar negara (inter-states conflict). Namun pasca Perang Dingin terjadi perubahan dalam sistem internasional mengenai konflik yang ada, yakni adanya pergeseran dari inter-states conflict yang tradisional atau perang antar negara-negara berdaulat menuju konflik dalam negara yang dikenal dengan istilah intra-states conflict.[i]

Dalam upaya penyelesaikan konflik tersebut tidak hanya negara yang berperan namun juga ada banyak aktor lagi yang turut terlibat diantaranya adalah organisasi internasional yang dimulai sejak abad 20-an. Organisasi internasional yang terlibat dalam resolusi konflik dapat merupakan organisasi pemerintah bersifat regional (ASEAN, NATO, SEATO), bersifat global seperti UN (Perserikatan Bangasa-Bangasa) ataupun organisasi non-pemerintah, baik level regional maupun internasional (International Non-Govermental Organization/INGO). Kontribusi dan peran mereka terwujud dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan (obat-obatan, makanan, pakaian dan kebutuhan bagi korban konflik/pengungsi), sebagai mediator ataupun juga bantuan militer.[ii]

Harold Nicholson, seorang pakar diplomasi modern, menyatakan bahwa diplomasi merupakan alat untuk mencapai kebutuhan nasional. Jika kebijakan luar negeri merupakan substansi, maka diplomasi merupakan metode. Walaupun konsepsi kebutuhan nasional relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan, menariknya, setiap pemimpin mempunyai gaya tersendiri dalam melakukan diplomasi. Masa kepresidenan Soeharto, karakter multilateral diplomacy atau conference diplomacy sangatlah menonjol melalui keaktifan Indonesia dalam berbagai forum multilateral seperti Non-Blok, OKI, APEC dan juga ASEAN.[iii]

Gerakan Non Blok (GNB) atau non alignment movement lahir setelah Perang Dunia ke II, di mana ketika situasi politik internasional ditandai dengan adanya persaingan antar Blok Barat dan Blok Timur. Pengejawantahannya yang pertama adalah Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, Yugoslavia 1-6 September 1961. Paper ini menelusuri diplomasi Indonesia dalam pendirian dan perkembangan Gerakan Non Blok yang dapat dikatakan sebagai prestasi pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan paper ini adalah: bagaimana kepemimpinan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non Blok 1992-1995?

1.3. Kerangka Pemikiran

Diplomasi adalah cara pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia di mana landasan idiilnya tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan politik luar negeri bebas aktif merupakan politik luar negeri yang dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), mengenai hubungan luar negeri dan merupakan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam hubungan luar negeri terdapat lingkaran hubungan antara beberapa unsur yang saling mempengaruhi yaitu: kepentingan nasional-politik luar negeri-diplomasi.[iv]

Bagi Indonesia, titik tolak formal ideal adalah rumusan mengenai dasar dan tujuan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang terdapat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan dasar Pancasila. Ciri utamanya adalah sikap anti penjajahan. Hal ini merupakan bagian dari rasa kebangsaan atau nasionalisme bangsa Indonesia. alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[v]

Menurut Hasan Wirajuda, diplomasi Indonesia bukanlah suatu diplomasi rutin, melainkan diplomasi perjuangan. Ini berarti, bahwa sewaktu-waktu Indonesia dapat dan diperkenankan menempuh cara-cara yang tidak konvensional, cara-cara yang tidak terlalu terikat pada kebiasaan protokoler ataupun tugas rutin belaka. Namun ini tidak berarti mengabaikan norma-norma dalam tatakrama diplomasi internasional. Gaya diplomasi perjuangan dijalankan Indonesia sejak tahun 1945, ketika menghadapi Belanda dalam suasana Perang Kemerdekaan.[vi]

Menurut Oxford English Dictionary, “diplomacy is the management of international relations by negotiations; the method by which these relations are adjusted and managed by Ambassadors and Envoys; the business or the art the diplomats. Jika diterjemahkan berarti: diplomasi adalah mengelola hubungan internasional dengan jalan perundingan, bagaimana cara para Duta Besar dan utusan lainnya mengatur dan mengelola hubungan-hubungan itu; tugas atau ekspresi seni dari para petugas tersebut.[vii]

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Berdirinya Gerakan Non Blok

Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tanggal 18 April 1955 telah melahirkan semangat Bandung, yang berintikan perdamaian, kemerdekaan, kerjasama Internasional untuk kepentingan bersama dan hidup berdampingan secara damai adalah merupakan tonggak perjuangan bangsa-bangsa yang dijajah oleh Barat dari pelbagai belahan dunia. Dimensi internasional KAA sejatinya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik domestik Indonesia. Inisiatif Indonesia tersebut tidak lain adalah sebagai upaya mendapatkan dukungan internasional atas tuntutannya terhadap Irian Barat. Dalam perkembangannya, KAA menjadi dasar lahirnya Gerakan Non Blok.[viii]

Sejumlah pemimpin besar dunia yaitu Nassar (Mesir), Tito (Yugoslavia), Nehru (India), Kwame Nkrumah (Ghana), dan Sukrno (Indonesia) di Majelis Umum PBB ke-25 tahun 1960 membahas resolusi untuk meredakan ketegangan Tirnur dan Barat dengan diadakannya perundingan antara dua musuh bebuyutan (dua blok) serta mencegah konflik terbuka. Resolusi ini terwujud dalam sebuah gerakan yang tidak akan terlibat oleh dua blok. Prakarsa-prakarsa lima tokoh di atas dikenal dengan “The Initiatif Five" yang mengawali sejarah tirnbulnya sejarah GNB yang ada sampai sekarang ini.[ix]

2.2. Pengelompokan Dalam Gerakan Non Blok

Jika dilihat dari sikap dan posisi yang muncul dalam berbagai pertemuan Non Blok, secara garis besarnya terdapat 3 pengelompokan di dalam Gerakan Non Blok, yaitu:[x]

1. Kelompok Mainstream, yaitu kelompok yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar dan tujuan Gerakan Non Blok, yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: Indonesia, Argentina, India, Bangladesh, Gabon, Pakistan, Srilanka, Senegal, Tunisia, Saudi Arabia.

2. Kelompok Ekstrim Kiri, yaitu kelompok negara yang mempunyai kerjasama di berbagai bidang dengan Uni Sovyet melalui perjanjian bilateral (Treaty on Friendship and Cooperation) antara lain Cuba, Afganistan, Angola, Vietnam dan Libya.

3. Kelompok Ekstrim Kanan, yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Mesir, Singapura, Zaire.

KTT GNB ke-10 diselenggarakan tanggal 1-6 September 1992 di Jakarta dengan tiga hasil utama yaitu: pangan, kependudukan dan pengurangan beban pembayaran utang luar negeri. Tiga hal ini merupakan hal yang penting dan paling dahulu harus ditangani secara serius. Hasil KTT X ini menghasilkan Pesan Jakarta (Jakarta Messanges) dengan 27 butir yang diantaranya adalah:

1. GNB memberikan konstribusi untuk menimbulkan perbaikan bagi iklim politik internasional.

2. GNB menghormati kedaulatan suatu negara, mentaati sepenuhnya prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

3. GNB ingin agar Israel mundur dari seluruh wilayah Arab yang didudukinya termasuk Yerussalem.

4. GNB menyambut baik kemajuan dalam pembatasan senjata konvensional dan nuklir.

5. GNB menyerukan percepatan pembangunan negara-negara berkembang berdasarkan stabilitas, pertumbuhan dan distribusi.

6. GNB melihat kerjasama Selatan-Selatan penting untuk memajukan pembangunan sendiri dan mengurangi ketergantungan kepada Utara.

7. GNB menekankan kembali hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.

8. GNB menyatakan komitmennya konferensi dunia mengenai wanita 1995.

9. GNB yakin integrasi wanita yang sama dan sepenuhnya dalam proses pembangunan pada segala tingkatan merupakan sasaran GNB.

10. GNB memproyeksikan gerakan sebagai komponen konstruktif bersemangat dan sepenuhnya saling tergantung pada hubungan internasional yang utama.

2.3. Gerakan Non Blok dan Kepemimpinan Indonesia 1992-1995

Dalam paper ini penulis menganalisa kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai Ketua GNB dan apa saja yang telah dihasilkannya dalam kurun waktu 1992-1995.[xi] Soeharto menganggap bahwa GNB pasca perang dingin masih relevan, sehingga beliau selaku Ketua GNB telah memperlihatkan usaha dan niat yang sungguh-sungguh untuk menemukan kembali arah GNB dan mengembangkan melalui usaha nyata yang dikenal dengan Kerjasama Selatan-Selatan.[xii]

Dalam masa kepemimpinan Soeharto, GNB menorehkan bebarapa kemajuan yang diantaranya adalah sebagai berikut:[xiii]

1. Gerakan Non Blok memperjuangkan kemerdekaan Palestina

Presiden Soeharto mendapat dukungan dari Menlu Palestina Farouk Kaddoomi setelah sidang Komite Palestina GNB di Bali yang dalam hal ini menurutnya keputusan tersebut menunjukkan dukungan Gerakan Non Blok kepada rakyat Palestina dalam memperoleh haknya kembali dan akan berusaha membuat warga Israel mundur dari kawasan yang diduduki. Komite Palestina GNB terdiri dari Aljazair, India, Bangladesh, Senegal, Gambia, Zimbabwe, Palestina dan Indonesia, komisi GNB untuk Palestina diketuai oleh Indonesia.[xiv]

2. Gerakan Non Blok ingin berdialog dengan Peserta KTT G7 di Tokyo

Presiden Soeharto mengadakan kerjasama dengan negara-negara Afrika mengirimkan petani atau petugas Keluarga Berencana ke Indonesia untuk melakukan magang. Namun karena Indonesia dan negara Afrika itu tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai program magang ini, maka akan dicari negara ketiga terutama negara maju yang bersedia membiayai pengiriman petani Afrika ke Indonesia. Dialog negara maju dan berkembang disebut sebagai dialog Utara-Selatan.

Dialog yang diharapkan akan tercapai itu ternyata tidak dapat dicapai sehubungan dengan tidak diundangnya Presiden Soeharto sebagai ketua GNB dalam KTT G-7 di Tokyo. Apa yang hendak disampaikan adalah buah pikiran negara anggota GNB terhadap keadaan dunia saat itu, situasi dunia yang tengah dihadapi dan usulan terhadap upaya bersama yang dapat dijalin oleh negara maju maupun negara sedang berkembang.

3. Upaya Penyelesaian Hutang Negara-Negara Selatan

Beban hutang negara-negara anggota GNB adalah masalah penting untuk dibahas dan dicari penyelesaiannya. Untuk itu, cukup banyak mendapat sorotan dan diharapkan agar di bawah kepemimpinan Indonesia, masalah hutang yang menjadi salah satu agenda utama KTT Non Blok ke X bisa diselesaikan dengan terobosan-terobosan yang cukup berarti. Presiden Soeharto mengundang negara-negara untuk berbagi pengalaman di mana Indonesia sebagai negara penghutang pada negara negara lain dinilai oleh Bank Dunia dapat membayar hutangnya sesuai waktu yang telah ditentukan.

Selanjutnya, Presiden Soeharto juga menekankan pentingnya Kerjasama Selatan-Selatan, bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah sosio-ekonomi tetapi juga melalui kerjasama konkret antara Selatan-Selatan untuk memberi bobot dalam dialog dengan Utara. Kepala negara mengingatkan negara maju yang disebut Kelompok Utara dan negara berkembang yang disebut Negara Selatan untuk saling membutuhkan.

4. Bantuan untuk Petani Afrika

Secara khusus Presiden Soeharto mengundang Brunei Darussalam untuk turut serta dalam Kerjasama Selatan-Selatan. Dalam hal ini, Indonesia menawarkan untuk berbagi pengalaman dalam upaya meningkatkan produk pertanian kepada negara negara Afrika yang mengalami kelaparan. Indonesia rnengundang para petani negara-negara Afrika untuk melihat secara langsung model pertanian Indonesia. Dalam hal ini Brunei Darussalam diminta memberikan dana guna membiayai perjalanan para petani Afrika, karena baik negara-negara Afrika itu maupun Indonesia tidak mampu membiayai program ini.

5. Pidato Soeharto pada KTT Pernbangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark

KTT yang dprakarsai oleh PBB di Kopenhagen telah memberikan kesempatan dan menjadi momentum yang tepat bagi Presiden Soeharto sebagai pemipinan Gerakan Non Blok dengan rnernberikan pidato pertama yang menyerukan kerjasama di antara negara maju dan negara berkembang guna memperbaiki nasib orang miskin.

Masalah yang mendapat perhatian khusus adalah hutang luar negeri, sistem perdagangan bebas serta pengendalian jumlah penduduk khususnya serta masalah keamanan pangan di Afrika. GNB telah mencoba meringankan kemiskinan melalui berbagai cara seperti peningkatan produksi pangan dan dalam hal ini mengharapkan kerjasarna maksimal dari PBB sebagai badan dunia untuk memainkan peranan yang lebih penting dengan mencoba mewujudkan tatanan Tata Dunia Baru dalam usaha memecahkan masalah keterbelakangan dan kemiskinan.

6. Pertemuan Informal Negara Berpenduduk Banyak

Di sela-sela KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Presiden Soeharto sebagai pemimpin GNB mengadakan pertemuan informal dengan 9 negara yang memiliki penduduk terbanyak di dunia yaitu, Indonesia, Bangladesh, Brazil, Cina, Mesir, India, Meksiko, Nigeria dan Pakistan. Pertemuan informal ke 9 negara berkembang tersebut membahas masalah pendidikan bagi semua (Education For All) yang diselenggarakan oleh Badan-Badan PBB yaitu UNESCO, UNICEF, UNFPA dan UNDP. Gerakan Non Blok memandang perlu bahwa pendidikan merupakan landasan penting bagi upaya meningkatkan kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan. Di Indonesia sendiri, realisasi program ini adalah adanya program wajib belajar sembilan tahun.

7. Kunjungan Pemimpin Gerakan Non Blok ke Zagreb, Kroasia dan Sarajevo, Bosnia

Pasca KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, pemimpin GNB telah mengadakan kunjungan yang dianggap oleh PBB sangat berani dan beresiko tinggi yaitu ke Kroasia dan Sarajevo yang tengah dilanda peperangan antaretnis. Selaku pemimpin GNB, Presiden Soeharto telah menyuarakan pandangan GNB terhadap bekas salah satu negara pendiri GNB yaitu Yugoslavia, dengan menyatakan bahwa bahwa tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan pertikaian etnis di antara mereka kecuali oleh para pemimpin negara-negara kawasan bekas Yugoslavia sendiri. GNB mencoba membantu tanpa ikut campur secara langsung melalui jalur diplomatik yang sesuai dengan prinsip. Secara moril, kunjungan pemimpin GNB dianggap sebagai dorongan dan perhatian bahwa GNB sangat prihatin akan masalah yang berkepanjangan.

BAB III

KESIMPULAN

Gerakan Non Blok (GNB) dalam kepemimpinan Indonesia yang diketuai oleh Presiden Soeharto telah memperlihatkan upaya sungguh-sungguh untuk menemukan kembali arah GNB yang seutuhnya dan berusaha mengembangkan usaha-usaha nyata seperti Kerjasama Selatan-Selatan di samping menghidupkan kembali Dialog Utara-Selatan. Untuk penyelesaian hutang Negara-Negara Selatan, Indonesia sebagai negara pemimpin GNB dihadapkan pada tantangan-tantangan berat. Penyebabnya tidak hanya didorong oleh kesulitan ekonomi negara-negara maju tetapi juga dengan semakin umumnya pola menjadikan uang sebagai komoditi.

Keduanya mentasbihkan dana dunia semakin terbatas, mengingat jumlah Negara Selatan relatif banyak, berarti di antara mereka sendiri sangat mungkin terjadi persaingan ketat karena masing-masing akan mendahulukan kepentingan nasionalnya. Terdapat tendensi bahwa Gerakan Non Blok ini telah bergerak dari gerakan yang bersifat politis menuju gerakan yang bersifat mitra dan lebih terfokus semula yaitu menentang blok politis yang ada.



[i] Peter Harris dan Bob Reilly (eds,), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, International Idea, Indonesia, 2000, hlm. 1

[ii] Milton J. Esman dan Shibley Telhami, International Organization and Ethnic Conflict, Cornell University Press, USA, 1995, hlm. 23

[iii] Jusuf Badri. 2001. Kiat Diplomasi: Pengertian dan Lingkup. Jakarta: Restu Agung, hal. 1-15.

[iv] Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa Ke Masa: Periode 1966-1995. 2005. Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, hal.11-13.

[v] Ibid, hal.14.

[vi] Ibid.

[vii] Ibid.

[viii] Ganewati Wuryandari.2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.91-92.

[ix] Ibid.

[x] Ibid.

[x] http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/10/26/0030.html diunduh pada 2 Juni 2010 pukul 20.17 WIB.

[x] http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=3&P=Multilateral&l=id diunduh pada 2 Juni 2010 pukul 20.19 WIB.

[x] Ganewati Wuryandari, Loc.Cit.

[x] http://www.inilah.com/news/read/2010/05/31/567881/ri-dilamar-jadi-mediator-konflik-palestina-israel/ diunduh pada 1 Juni 2010 pukul 12.13 WIB.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badri, Jusuf. 2001. Kiat Diplomasi: Pengertian dan Lingkup. Jakarta: Restu Agung.

Harris, Peter dan Bob Reilly (eds,), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, International Idea, Indonesia, 2000.

Esman, Milton J. dan Shibley Telhami, International Organization and Ethnic Conflict, Cornell University Press, USA, 1995.

Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa Ke Masa: Periode 1966-1995. 2005. Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.

Wuryandari, Ganewati.2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

1 komentar:

Travelling Through Times mengatakan...

Makalah anda banyak mengandung plagiatarism.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:px4hYLbZbAkJ:kalfcoold.blogspot.com/2008_12_01_archive.html+Selanjutnya,+Presiden+Soeharto+juga+menekankan+pentingnya+Kerjasama+Selatan-Selatan,+bukan+hanya+sekedar+menyelesaikan+masalah+sosio-ekonomi+tetapi+juga+melalui+kerjasama+konkret+antara+Selatan-Selatan+untuk+memberi+bobot+dalam+dialog+dengan+Utara.+Kepala&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a
Saya tidak akan memberikan nilai.

9 Juni 2010 pukul 01.29

Posting Komentar