PERAN HENRY DUNANT CENTRE (HDC) DALAM UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK ANTARA PEMERINTAH RI- GAM

Rabu, 02 Juni 2010 19.57 By diplomasi senin 1245

TUGAS MATA KULIAH: PENGANTAR DIPLOMASI
DOSEN: SHISKHA PRABAWANINGTYAS, MA.


Oleh
Winnie Angie Utami
206000267


Paper ini adalah karya pribadi
yang disusun sesuai dengan etika penulisan ilmiah.
Penulis bertanggungjawab atas seluruh isinya.

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
JUNI, 2010

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sepanjang abad ke 20 kajian hubungan internasional dipenuhi oleh kajian tentang konflik antar negara (inter-states conflict). Namun pasca Perang Dingin terjadi perubahan dalam sistem internasional mengenai konflik yang ada, yakni adanya pergeseran dari inter-states conflict yang tradisional atau perang antar negara-negara berdaulat menuju konflik dalam negara yang dikenal dengan istilah intra-states conflict.
Dalam upaya penyelesaikan konflik tersebut tidak hanya negara yang berperan namun juga ada banyak aktor lagi yang turut terlibat diantaranya adalah organisasi internasional yang dimulai sejak abad 20-an. Organisasi internasional yang terlibat dalam resolusi konflik dapat merupakan organisasi pemerintah bersifat regional (ASEAN, NATO, SEATO), bersifat global seperti UN (Perserikatan Bangasa-Bangasa) ataupun organisasi non-pemerintah, baik level regional maupun internasional (International Non-Govermental Organization/INGO). Kontribusi dan peran mereka terwujud dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan (obat-obatan, makanan, pakaian dan kebutuhan bagi korban konflik/pengungsi), sebagai mediator ataupun juga bantuan militer.
Di Indonesia terjadi berbagai konflik internal (intra-state conflict) baik yang dilatarbelakangi isu etnis, agama ataupun pemberontakan kemerdekaan. Salah satu dari sekian banyak konflik yang mendapat banyak sorotan dunia internasional adalah konflik bersenjata antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF), dengan promoter militernya Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Konflik ini telah bergulir sejak tahun 1967 saat GAM pertama kali diproklamirkan.
Aceh atau Atjeh, atau Acheh, atau Achem, atau Atchin merupakan propinsi wilayah yang terletak di bagian ujung utara pulau Sumatera.Ada banyak julukan yang dilekatkan pada wilayah terkaya di Asia Tenggara tersebut seperti Serambi Mekkah, “Tanoh Lhee Sagoe” atau Tanah Segitiga maupun Tanah Rencong. Dari sekian banyak julukan yang ada, julukan “Aceh Bersimbah Darah” mungkin paling cocok karena di wilayah yang sangat kaya tersebut, bukan kemakmuran dan kesejahteraan yang ada, tetapi malapetaka baik karena perang maupun bencana alam. Sejarah pertumpahan darah di Aceh dimulai pada tahun 1520 dalam perang mengusir Portugal. Berikutnya adalah perang melawan Belanda yang berlangsung selama tiga puluh tahun. Sejarah Aceh mulai memilukan justru ketika ia menjadi bagian dari NKRI.
Aceh sejak bergabung dengan NKRI hampir identik dengan masalah pergolakan, pelanggaran HAM, dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Dalam perjalanan sejarahnya, setelah Aceh bergabung dengan RI, daerah ini sering mengalami peristiwa berdarah. Diawali dengan revolusi sosial pada tahun 1945-1946 yang menewaskan 1500 jiwa, kemudian peristiwa pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953-1962 menewaskan 4000 jiwa, sampai dengan peristiwa pemberontakan oleh GAM yang direspon dengan Daerah Operasi Militer (DOM) oleh rezim Soeharto pada tahun 1989-1998 yang menewaskan 5000 jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan penderitaan berkepanjangan terhadap rakyat Aceh.
Benih konflik Aceh berawal dari rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat. Aceh dijuluki sebagai daerah modal karena patriotisme yang ditunjukkan semasa perang kemerdekaan dan sumbangan tak ternilai bagi pemerintah RI pada awal kemerdekaan. Hal ini dibuktikan dengan sumbangan dua pesawat terbang kepada pemerintah pusat pada saat menyambut 3 tahun kemerdekaan RI. Pada tahun 1949, rakyat Aceh juga menyumbang 250.000 dollar AS kepada Angkatan Perang RI, yang notabene merupakan cikal bakal TNI, dan juga 250.000 dollar AS lainnya untuk pemerintahan Soekarno. Hasil alam Aceh pun sejak dahulu kala telah begitu banyak disumbangkan kepada pemerintah pusat, diberikan bagi pemerintah Indonesia demi mencapai solidaritas kemerdekaan, namun banyak rakyat Aceh kecewa karena merasa tidak dihargai. Rasa ketidakadilan ini pulalah yang juga melatarbelakangi lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan oleh T. Moh. Hasan Tiro pada tahun 1976.

1.2. Identifikasi Masalah
Pada konflik antara pemerintah RI dan GAM yang pertama kali menjadi pihak ketiga adalah Henry Dunant Centre (HDC). Konflik yang seakan tak kunjung padam ini menemukan sedikit titik cerah dengan hadirnya HDC sebagai pihak ketiga yang bertugas sebagai mediator antara kedua belah pihak dengan melakukan dialog perdamaian. Baik pemerintah RI maupun GAM keduanya menyadari perlunya jasa pihak ketiga untuk membawa perundingan diantara kedua belah pihak akibat ketidakpercayaan satu sama lain.
Dalam hal keterlibatan pihak ketiga, pada awalnya Indonesia menginginkan pihak ketiga diwakili oleh organisasi internasional di tingkat regional Asia Tenggara, yaitu ASEAN. Namun hal itu ditolak oleh GAM karena adanya kekhawatiran ASEAN akan memihak pemerintah Indonesia dan menekan GAM. Sedangkan GAM lebih melirik pihak ketiga berasal dari PBB, dengan alasan melakukan internasionalisasi konflik, sehingga dapat mengangkat isu pelanggaran HAM yang dilakukan TNI kepada rakyat Aceh yang diharapkan dapat menarik simpati dunia, terutama negara kuat untuk melepaskan diri dari NKRI. Namun keterlibatan PBB ditolak oleh Indonesia, mengingat sebelumnya, yakni ketika terjadi konflik internal antara pemerintah RI dengan kaum separatis di Timor-Timur, dimana PBB memberikan bantuannya tahun 1998 yang menuntut terjadinya referendum dan akhirnya melepaskan diri dari Indonesia.
HDC merupakan organisasi internasional yang bergerak di bidang penyelesaian konflik. Organisasi tersebut hadir untuk membantu menengahi pihak-pihak yang bertikai dan memberikan fasilitas terhadap berbagai resolusi dari konflik bersenjata. Organisasi yang berpusat di Swiss tersebut relatif baru, independen dan imparsial. Pada dasarnya HDC tidak memihak manapun, memiliki motivasi kemanusiaan dalam mengurangi penderitaan rakyat sipil yang tak berdosa, yang menjadi korban langsung maupun tidak langsung atas berbagai konflik yang terjadi, meningkatkan keamanan manusia, dan memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan resolusi konflik.

1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah, maka pertanyaan yang hendak dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana peranan Henry Dunant Centre dalam upaya penyelesaian koflik antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka.

1.4. Kerangka Pemikiran
Meskipun merupakan isu domestik, intra-states conflict juga memiliki dimensi internasional. Salah satunya adalah dengan adanya keterlibatan pihak ketiga. Ada empat faktor yang menentukan pihak luar atau pihak ketiga dalam keterlibatan konflik. Pertama, sumber-sumber konflik kontemporer terletak di sebelah luar sebuah negara dan sama banyaknya seperti yang terletak dalam sebuah negara. Artinya masyarakat internasional juga turut bertanggungjawab atas timbulnya sebuah konflik. Kedua, meningkatnya interdependensi, bermakna bahwa konflik kontemporer mempengaruhi kepentingan kawasan regional yang berdekatan maupun yang memiliki kepentingan tertentu diwilayah konflik. Ketiga, kombinasi penderitaan manusia dan transparansi media membuat sulit bagi pemerintah untuk tetap bertahan dan tidak melakukan apa-apa. Keempat, hampir semua kajian sepakat bahwa konflik yang berlarut-larut hanya dapat diselesaikan ketika pihak luar diabaikan.
John Burton berpendapat bahwa iktikad baik (good will), pihak-pihak yang bertikai akan menyelesaikan perbedaan mereka melalui negosiasi dan kompromi. Dalam beberapa kasus yang sulit dipecahkan, keahlian dari keterlibatan pihak ketiga dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya dialog, dan untuk bergerak maju ke depan demi tercapainya suatu konsensus. Pihak ketiga dapat berasal dari negara, organisasi pemerintah, organisasi non-pemerintah baik di tingkat regional maupun internasional. Pihak ketiga yang dimaksud dalam makalah ini adalah dari organisasi non-pemerintah atau non-governmental organization (NGO). Secara Umum NGO didefinisikan sebagai lembaga private, voluntary, non-profit; dimana anggota-anggotanya mengkombinasikan kemampuan, cara dan energi mereka dalam mencapai tujuan dan idealita. Walaupun tidak memiliki legalitas formal sekuat PBB atau organisasi regional, NGO adalah organisasi yang paling mampu menjembatani berbagai kesulitan yang dihadapi aktor-aktor lain dalam penyelesaian konflik. Ketiadaan kedaulatan yang dimiliki organisasi non-pemerintah menjadi senjata kuat baginya untuk memasuki wilayah-wilayah terlarang tanpa kekhawatiran penolakan pengakuan resmi. HDC dan CMI adalah dua contoh NGO internasional.
Ada beberapa alasan mengapa dalam resolusi konflik NGO memiliki peranan sangat penting bahkan lebih berpengaruh dari dua aktor lainnya. Pertama, un-official status; kedua, Impartial; ketiga, komitmen dan tanggungjawab dalam jangka panjang; keempat, mampu memberikan peringatan dini dan aksi preventif. Aksi preventif dan peringatan dini mampu dilakukan oleh NGO karena mereka dapat mempelajari berbagai kultur dan sejarah kedua belah pihak secara obyektif. Informasi ini bisa mereka dapatkan dari jaringan-jaringan NGO yang relatif lebih mudah didapat daripada jaringan-jaringan resmi yang harus mengikuti berbagai protokoler kenegaraan.
Diplomasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi antar pemerintah merupakan diplomasi track one (official mediation). Jika gagal, maka diplomasi track two (unofficial) kadang-kadang menjadi alternatif yang relatif mudah diterima. Kehadiran unofficial actors dalam penyelesaian konflik sangat membantu para official actors. Mediasi un-official jauh lebih mampu menyelesaikan masalah daripada seorang diplomat profesional sekalipun dalam mencegah jawaban-jawaban hipotetik. Para praktisi unofficial lebih mampu menjadikan konflik win-lose atau yang didasarkan atas power menjadi ke arah terbentuknya komunikasi, confidence building, problem solving, sehingga menjadi win-win situation.
Status un-official membuat NGO terlepas dari protokoler diplomasi yang kaku dan implikasinya sensitif dalam setiap perkembangan proses mediasi. Seorang diplomat sangat dibatasi oleh waktu, tapi tidak bagi NGO. Ia bisa melakukan sebuah mediasi selama puluhan tahun. Tugas NGO adalah menyampaikan pesan dari satu pihak ke pihak lainnya. Mediasi oleh NGO juga mampu memainkan peranan penting dalam menyelesaikan konflik dimana setiap pihak menolak mengakui dan berhadap-hadapan dengan lawannya dalam sebuah pertemuan resmi ke arah setting normal. Kata Bailey, kewajiban yang pertama kali harus dibuat oleh NGO saat melakukan mediasi adalah menghilangkan mispersepsi dan misunderstanding antar pihak yang ada dengan jalan rekonseptualisasi atau de-demonization tentang “musuh”.
Menurut Bailey, posisi unik ini membuat NGO mampu untuk menawarkan prosedur atau cara-cara non-konvensional, seperti menawarkan solusi parsial atau seperangkat kesepakatan, menekan berbagai masalah untuk menciptakan inisiatif konstruktif atau langkah-langkah maju, mengisolasi isu-isu humanitarian dimana kewajiban-kewajiban diasumsikan oleh masing-masing pihak sebagai pengecualian dan tidak tergantung pada resiprokal. Keunikan posisi membuat NGO memiliki fleksibiltas dalam melakukan pendekatan dengan setiap pihak yang tidak mampu ditembus oleh lembaga resmi negara. Fleksibilitas ini pada akhirnya mampu menyelesaikan berbagai hal yang tidak mungkin dilakukan oleh institusi pemerintahan yaitu; keintiman dengan masyarakat, para pemimpin, kultur, nilai dan sensitivitas.
Dalam makalah ini NGO yang bersangkutan adalah HDC yang berperan sebagai mediator antara pihak GAM dan pemerintah RI yang salah satu tugasnya adalah memfasilitasi proses-proses perundingan antara kedua pihak yang bertikai serta mendorong kedua pihak menciptakan pemecahan masalah secara bersama-sama. Menurut Elmore Jackson, mediasi adalah suatu proses yang disengaja. Berarti mediator tidak bisa memediasi kecuali apabila mereka dilihat sebagai hal yang dapat diterima, dianggap layak atau tepat, berpengetahuan luas dan mampu menjamin kerjasama dan kepercayaan dari pihak-pihak dalam konflik. Akan sangat sulit bagi suatu mediator tunggal yang tidak dipercayai oleh salah satu pihak untuk melaksanakan berbagai fungsinya.
Suatu mediasi yang dijalankan oleh pihak ketiga selalu diharapkan membawa perubahan positif bagi upaya penyelesaian konflik. Berhasilnya mediasi memiliki indikator-indikator tersendiri. Adapun tiga faktor pendukung bagi suatu mediasi yang efektif, yakni:
1. Adanya motivasi dan komitmen pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik yang ada
2. Kondisi dan situasi yang kondusif bagi upaya mediasi
3. Kemampuan mediator itu sendiri
Kondisi dan situasi konflik kondusif yang dimaksud diatas adalah:
1. Terdapat kekuatan yang relative sama diantara pihak-pihak yang bertikai
2. Tidak ada hubungan masa lalu yang mengecewakan diantara kedua pihak yang berkonflik
3. Terdapat situasi konflik yang matang atau adanya hurting stalemate akibat konflik yang berkepanjangan
Sedangkan kemampuan mediator dapat ditinjau dengan menggunakan dua perangkat, yakni:
1. Perangkat mediator, yang menyangkut jabatan dan pengaruh sosial yang dimiliki mediator
2. Strategi mediator, yang terbagi atas tiga bagian strategi, yaitu: konsultasi, formulasi dan manipulasi

BAB II
HENRY DUNANT CENTRE (HDC) DAN PERANANNYA DALAM
PENYELESAIAN KONFLIK ANTARA RI-GAM

2.1. Keterlibatan HDC dalam Upaya Penyelesaian Konflik Aceh
Ada empat faktor yang menentukan pihak luar atau pihak ketiga dilibatkan dalam konflik. Pertama, sumber-sumber konflik kontemporer yang berada di luar sebuah negara sama banyaknya seperti yang terletak dalam sebuah negara. Kedua, meningkatnya interdependensi, bermakna bahwa konflik kontemporer mempengaruhi kepentingan kawasan regional yang berdekatan maupun yang memiliki kepentingan di wilayah konflik. Ketiga, kombinasi penderitaan manusia dan transparansi media membuat sulit bagi pemerintah untuk tetap bertahan dan tidak melakukan apa-apa. Keempat, hampir semua kajian sepakat bahwa konflik yang berlarut-larut hanya dapat diselesaikan ketika pihak luar dilibatkan. Keempat faktor ini dapat digunakan untuk menganalisa keterlibatan HDC di Aceh dalam penyelesaian konflik antara pemerintah RI dan GAM.
Kesepakatan yang melibatkan pihak ketiga pada awalnya memiliki pandangan dan referensi yang berbeda. Pihak RI menginginkan agar pihak ketiga diwakili oleh organisasi internasional di tingkat kawasan Asia Tenggara, yaitu ASEAN. Sedangkan GAM menginginkan pihak ketiga berasal dari PBB, agar dapat mendapatkan dukungan dengan mengusung isu pelanggaran HAM di Aceh. Kekhawatiran akan keberpihakan inilah yang membuat kedua pihak sepakat menggunakan NGO internasional yang bestatus un-official dan impartial. Sedangkan pilihan kepada HDC didasarkan pada faktor kemanusiaan dan realitanya pendekatan kemanusiaan tersebutlah yang akhirnya membawa kedua pihak bertemu dalam meja perundingan.
Keterlibatan HDC dalam konflik di Aceh ternyata melahirkan pro dan kontra terutama saat perundingan Nota Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) antara Indonesia yang diwakili Hassan Wirajuda dan GAM yang diwakili Zaini Abdullah pada tanggal 12 Mei 2000, di Jenewa, Swiss.
Pihak yang pro dan berpandangan optimis menyatakan bahwa prakarsa dialog kemanusiaan ini dapat dinilai sebagai suatu terobosan politik guna mengatasi situasi politik dan kekerasan yang berlarut-larut sekaligus menciptakan perdamaian di Aceh. Sehingga dapat dipahami bahwa banyak kalangan masyarakat di Aceh yang menyambut baik prakarsa diplomatik tersebut. Para tokoh Aceh sendiri berpendapat bahwa konvensi diplomatik hanya masalah teknis dan bukan substansi. Yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan perdamaian di Aceh dengan segera.
Disamping terdapat banyak dukungan, keterlibatan HDC di Aceh juga mendatangkan sikap kontra dari berbagai kalangan. Prakarsa dialog ini tidak lepas dari pandangan negatif bahwa penandatanganan Nota Kesepahaman tersebut merupakan suatu kesalahan yang kontroversial dimana pemerintah RI secara tidak langsung memberi pengakuan kepada GAM sebagai aktor internasional yang setara kedudukannya dengan RI sebagai negara yang berdaulat. Dikhawatirkan bahwa kesepahaman ini merupakan kebijakan politik yang salah dari pihak eksekutif pimpinan Gus Dur karena bisa merambah menjadi pengakuan terhadap GAM sebagai sebuah entitas politik.

2.2. Profil HDC sebagai Sebuah Organisasi Kemanusiaan
HDC adalah salah satu contoh organisasi non pemerintah internasional (International Non-Governmental Organization) yang bergerak di bidang kemanusiaan. Nama Henry Dunant diambil dari nama Jean Henry Dunant, seorang banker, penulis dan dermawan dari Swiss yang memprakarsai pendirian Palang Merah Internasional dan Konvensi Jenewa 1864 tentang perlakuan terhadap korban-korban perang. HDC diresmikan pada Januari 1999 dan terdaftar di bawah payung Undang-Undang Swiss, dan berpusat di Jenewa, Swiss.
HDC adalah organisasi yang relatif baru, independen dan imparsial, yang mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan, pencegahan konflik, pada bidang resolusi konflik maupun dialog. Lembaga ini menawarkan jasanya kepada pihak-pihak yang bertikai sebagai pihak ketiga untuk menghadirkan perdamaian dengan mengkoordinasikan perundingan antara pihak yang bertikai, dimana konflik yang terjadi diantara mereka cenderung mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat sipil. Organisasi ini juga mengadakan pertemuan-pertemuan yang membahas mengenai isu-isu kemanusiaan, dalam konteks global yang menghubungkan para pakar yang mampu mengkaji persoalan yang terjadi dan mendorong upaya-upaya untuk membangun pendekatan yang lebih efektif dalam memberikan bantuan kemanusiaan.
Struktur organisasi HDC terdiri atas Dewan (Council), Badan Pengurus (Board), dan Staff. Dewan itu sendiri merupakan badan pleno tertinggi yang bertugas dalam menetapkan misi dan kebijakan umum organisasi. Selain itu, dewan juga bertugas mengawasi administrasi dan memegang kendali dari seluruh kegiatan HDC. Badan pengurus menjalankan tugas-tugas sebagai berikut:
1. Bersama dengan Direktur Eksekutif mengawasi kegiatan operasional dan administrasi organisasi.
2. Memastikan bahwa kebijakan umum organisasi dapat diterapkan dan secara khusus bekerjasama dengan Direktur Eksekutif membangun rancangan serta menetapkan program-program kegiatan.
3. Bersama Direktur Eksekutif mencari dukungan atas kegiatan organisasi, baik dari pemerintah maupun swasta.
4. Mempersiapkan pemilihan, khususnya dalam memilih dan mengajukan kandidat.
5. Mempersiapkan pertemuan Dewan Penasehat dengan berkonsultasi dengan Ketua Dewan.

2.3. Upaya-upaya HDC dalam Penyelesaian Konflik Aceh
Merupakan suatu terobosan yang dirintis secara langsung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan Januari 2000 yang bertujuan untuk mengurangi akses kemanusiaan dari konflik Aceh dan memperkecil kemungkinan terjadinya eskalasi politik.
2.3.1. Humanitarian Pause
Untuk tahap awal ini, HDC melakukan pra-negosiasi, yakni suatu masa dalam kerangka waktu yang terbatas sebagai persiapan menuju perundingan. William I. Zartman berpendapat bahwa masa pra-negosiasi dimulai pada saat satu atau lebih pihak mempertimbangkan perundingan sebagai pilihan kebijakan dan mengkomunikasikan maksud ini kepada pihak lawannya. Sedangkan pra-negosiasi berakhir pada saat pihak-pihak yang bertikai menyetujui untuk melangkah ke proses perundingan formal, dimana terdapat proses saling tukar-menukar proposal yang dapat diterima oleh kedua pihak atau pada saat salah satu pihak menganggap perundingan sebagai suatu keharusan.
Tahap pra perundingan konflik Aceh dilaksanakan dalam tiga putaran pertemuan informal dan difasilitasi oleh HDC yang bertujuan untuk mematangkan draft ketentuan yang akan dibawa dan menghasilkan Joint of Understanding for Humanitarian Pause (Nota Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan). Tujuan dari Jeda Kemanusiaan adalah mengurangi ketegangan dan penderitaan rakyat Aceh, juga mengembangkan kepercayaan masyarakat dan pihak-pihak pada Kesepahaman bersama ini dalam upaya bersama mereka untuk menuju tercapainya suatu penyelesaian damai dari situasi konflik.
Untuk mendukung Jeda Kemanusiaan di lapangan, dibuat badan-badan sebagai struktur organisasi, yaitu Joint Forum (Dewan Bersama), Joint Committee on Security Modalities (JCSM/Komite Bersama Modalitas Keamanan) dan Joint Committee on Humanitarian Action (JCHA/Komite Bersama dalam Aksi Kemanusiaan). Seluruh komite dan tim monitoring dalam JCSM dan JCHA bekerjasama dengan tiga perwakilan HDC dan seorang staf lokal untuk melaporkan hasil pertemuan di lapangan pada Joint Forum, secara berkala mereka melakukan pertemuan di Jenewa dan menghasilkan “Directives” untuk menjadi panduan mereka dalam pelaksanaan perjanjian kesepakatan.
2.3.2. Provisional Understanding
Pada awal Januari 2001 perwakilan RI dan GAM kembali bertemu dengan fasilitator HDC yang dilaksanakan di Swiss. Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama yang menyetujui diskusi solusi politik bagi penyelesaian konflik. Dalam pertemuan ini mereka menyepakati pembentukan Moratorium of Violence (Moratorium Kekerasan) selama satu bulan pasca Jeda Kemanusiaan II.
Selain itu, para perwakilan juga menyetujui untuk membangun Joint Council yang dimotori oleh HDC guna meninjau perkembangan, menjelaskan isu yang timbul dengan jalan konsultasi demokratis, dan memastikan kepatuhan seluruh pihak pada perjanjian.
2.3.3. The Wise Man
Pada Agustus 2001 pemerintahan RI kembali berpindah tangan, dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarno Putri. Ketika Megawati memegang kendali pemerintahan, langkah menuju perdamaian dengan jalan dialog yang sempat diwarnai kekerasan kembali dilanjutkan. Para anggota GAM yang ditangkap sebelumnya kemudian dilepaskan dibawah pengawasan HDC. Akhirnya proses dialog diperbaharui dengan melibatkan the Wise Man, yang akan berpartisipasi menjadi penasehat dalam proses dialog antara kedua belah pihak yang berseteru.
The Wise Man terdiri atas Budimir Loncar (Duta Besar Yugoslavia untuk Indonesia), mantan Menlu Thailand Surin Pitsuwan, dan pensiunan Jenderal Angkatan Laut AS Anthony Zinni. Ini adalah inovasi penting dari HDC yang memiliki sisi politis dan profil media yang lebih tinggi. Poin penting terjadi ketika The Wise Man bergabung dalam proses dialog pada pertemuan di bulan Februari dan Maret 2002 dengan menyediakan konseling pada proses negosiasi terutama mengenai poin untuk tidak keluar dari perundingan dan tetap konsisten pada upaya damai yang telah dirintis.
2.3.4. Joint Statement
Pertemuan antara pemerintah RI dan GAM kembali digelar pada tanggal 2-3 Februari 2002 di Swiss yang membahas masalah otonomi khusus NAD, yang kemudian terjadi kesepakatan lagi mengenai adanya suatu jadwal bagi dialog selanjutnya yang akan dipusatkan pada otonomi, kesepakatan perhentian permusuhan, pelaksanaan All-Inclusive Dialogue, dan pemilihan umum yang menyeluruh dan transparan.
Pada tanggal 10 Mei 2002 di Jenewa, Swiss diadakan kembali pertemuan antara kedua pihak yang intinya keduanya menerima Joint Statement yang mengandung kata ”Acceptance of the NAD Law as a starting Point. Pihak pemerintah RI menginterpretasikan bahwa penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik awal perundingan, sedangkan pihak GAM menginterpretasikan bahwa UUD NAD hanyalah suatu isu yang perlu dibicarakan, dalam pengertian bahwa GAM menolak menerimanya sebagai titik awal perundingan.
2.3.5. Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)
Penandatanganan CoHA dilaksanakan pada 9 Desember 2002 dan dihadiri oleh delegasi pemerintah RI, delegasi GAM, perwakilan NGO Aceh, perwakilan komunitas diplomatik, dan berbagai media internasional. Selanjutnya naskah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yakni perwakilan RI, GAM dan HDC selaku mediator. Pada intinya makna dasar dari CoHA adalah kesepakatan penghentian permusuhan, all-inclusive dialogue yaitu suatu forum dialog yang melibatkan semua elemen masyarakat Aceh dan pemilihan umum yang demokratis di Aceh.
CoHA juga memandatkan dibentuknya Zona Damai (Peace Zone), sebagai upaya kepedulian terhadap kemanusiaan, bantuan rehabilitasi, dan rekonstruksi. Setelah memasuki periode Confidence Building, CoHA memprakarsai proses untuk melakukan demiliterisasi yang mencakup pengurangan senjata GAM dan relokasi kekuatan GAM dari offensice ke posisi yang lebih defensive.
2.3.6. Tokyo Joint Council
Sayangnya, upaya demiliterisasi ternyata malah memperburuk situasi keamanan di Aceh sehingga diambil keputusan untuk mengamankan anggota tim monitoring (Tripartite Monitoring Teams/TMTs) pada awal April. Joint Council berusaha untuk mengidentifikasi perbedaan seputar proses demiliterisasi juga isu-isu lain, dan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikannya. Pemerintah RI dan GAM juga setuju untuk melakukan pertemuan di Tokyo, Jepang pada 17-18 Mei 2003.
Akhirnya, kedua belah pihak tidak dapat menemukan jalan tengah, dan pada 18 Maret 2003 Presiden Megawati kembali menerapkan Darurat Militer di Aceh dengan dikeluarkannya Keppres.No.28/2003 tentang pernyataan bahaya. Pemberlakuan Darurat Militer ini dapat dikatakan sebagai langkah mundur selama proses-proses penyelesaian konflik yang pernah dilakukan pemerintah RI, karena pendekatan militer atau kekerasan kembali menjadi pilihan bagi pemerintah RI. Hal ini dengan sendirinya menyebabkan semua JSC (Joint Security Community) dan para anggotanya terbebas dari tugas resmi mereka.

BAB III
KESIMPULAN

Peranan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai pihak ketiga dalam intra-state conflict telah menunjukkan bahwa negara bukanlah satu-satunya aktor dalam ranah hubungan internasional. Dengan mengusung isu kemanusiaan dan status kenetralan membuat organisasi yang bermarkas di Jenewa, Swiss ini dipercaya oleh pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik termasuk pemerintah RI dengan GAM.
Sederetan pertemuan antara pemerintah RI dan GAM sebagai pihak yang bertikai untuk duduk dalam meja dialog demi penyelesaian konflik Aceh secara damai telah menunjukkan implementasi HDC dalam strategi komunikasi. Berbagai telah ditempuh oleh HDC sehubungan dengan peranannya sebagai mediator. Harus diakui pula bahwa HDC telah berhasil menjalankan strategi formulasinya dengan adanya pengembangan dari materi pembahasan selama masa perundingan.
Adalah sebuah realita bahwa berbagai pertemuan yang menghasilkan berbagai perjanjian damai telah diperankan oleh HDC, namun sayangnya belum ada implemantasi konkrit di lapangan. Kurangnya komitmen dari kedua belah pihak dan posisi HDC sebagai mediator tidak dapat menghentikan kekerasan di Aceh yang terus meningkat. Penandatanganan CoHA adalah puncak keberhasilan HDC sebagai mediator. Dimana tingkat kekerasan turun drastis di Aceh, selama dua minggu tanpa kekerasan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arif, Manasli. Peranan Henry Dunant Centre (HDC) Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah RI-GAM, Universitas Paramadina, Jakarta, 2007.
Ayu, Rindu. Modul Politik Luar Negeri. Jakarta. Program Studi Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia, 2008.
Badri, Yusuf. Kiat Diplomasi: Pengertian & Ruang Lingkup (Buku I). Jakarta: Restu Agung, 2001.
Bercovitch, Jacob. Mediation in International Conflict: An Overview of Theory, A Review of Practice, in I. William Zartman & J. Lewis Rasmussen (Eds.), Practice Making in International Conflict: Methods and Techniques, United States Institute of Peace Press, 1997, Washington D.
Berridge, G.R. Diplomacy: Theory and Practice (Third Edition). New York: Palgrave Macmillan, 2005.
Burton, John dan Frank Dukes (Eds.), Conflict: Readings in Management and Resolution, Macmillan Press, London, 1990.
Esman, Milton J. dan Shibley Telhami, International Organization and Ethnic Conflict, Cornell University Press, USA, 1995.
Harris, Peter dan Bob Reilly (eds,), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, International Idea, Indonesia, 2000.
Ishak, Otto Syamsuddin. Dari Maaf ke Panik Aceh 2: Sebuah Sketsa Sosiologi Politik, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2001.
Miall, Hugh dkk. Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Rasmussen, J. Lewis. “Peacemaking in the Twenty-First Century: New Rules, New Roles, New Actors”, dalam I. William Zartman and J. Lewis Rasmussen. Peacemaking in International Conflict: Methods and Techniques, Washington, D.C., USIP, 1997.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
Wallensteen, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace and The Global System, Sage Publication, London, 2002.
Zartman, William I. Prenegotiation: Phase & Functions, dalam Janice Gross Stein (Ed.), Getting to the Table, The Process of International Prenegotiation, John Hopskins University Press, Baltimore, 1989.

Jurnal
Hampson, Fen Osler. “Third-Party Role in the Termination of Intercommunal Conflict”, Millenium: Journal of International Studies, Vol.26, No.3 (1997).
Mawlawi, Farouk. “New Conflicts, New Challenges: The Evolving Role for Non-Governmental Actors”, Journal of International Affairs, Vol.46, No.2, (Winter 1993).
Position Paper Koalisi NGO-HAM di Aceh, Ada Korban di Balik Perlindungan: Refleksi 2 Tahun Proses Damai di Aceh, 2002.
Tadjoeddin, Muhammad Zulfan. Anatomi Kekerasan Sosial Dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia 1990-2001. UNSFIR, Working Paper Series No.2/01.

Surat Kabar/Majalah
Gatra, 20 Mei 2000
Kompas, 13 Mei 2000
Kompas, 17 Mei 2000
Republika, 5 Mei 2000
The Jakarta Post, 14 Agustus 2000

Internet
www.hdcenter.org diakses pada 30 Mei 2010 pukul 07.45 WIB.
www.dephan.go.id diakses pada 30 Mei 2010 pukul 07.48 WIB.

1 komentar:

Travelling Through Times mengatakan...

Makalah Anda mengandung unsur plagiatarism. Saya tidak akan menilai.
agungsetiyowibowo.blogspot.com/.../tugas-akhir-pengantar-diplomasi.html

9 Juni 2010 pukul 01.37

Posting Komentar