Efektifitas dan Tingkat Keberhasilan Diplomasi yang dilakukan Antara Indonesia dan Australia dalam Mengatasi Masalah Timor-Timur

Rabu, 02 Juni 2010 07.53 By diplomasi senin 1245

Amanda Sartika
209000083
Hubungan Internasional
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Pengantar Diplomasi


BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang

Diplomasi adalah seni dan praktek bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung terkait dengan diplomasi internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan, dll. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai cara mewujudkan kepentingan melalui cara negosiasi atau kompromi. Diplomasi yang paling sederhana dan tertua adalah diplomasi bilateral antara dua pihak satu, biasanya dilakukan oleh satu negara dengan negara lain. Contohnya adalah diplomasi bilateral yang dilakukan Indonesia-Australias dalam masalah Timor-timur .

Jenis lainnya adalah diplomasi multilateral yang melibatkan banyak pihak dan bisa ditelusuri dari Kongres Wina. PBB adalah salah satu institusi diplomasi multilateral. Beberapa diplomasi multilateral berlangsung antara negara-negara yang berdekatan atau dalam satu region dan diplomasi ini dikenal sebagai diplomasi regional. Keberhasilan kegiatan diplomasi dapat dinilai dari tujuan awalnya. Diplomat melakukan diplomasi untuk mengerjar kepentingan nasionalnya dengan cara saling tukar menukar informasi secara terus menerus dengan negara lain atau rakyat negara lain. Tujuan persuasif antar negara adalah untuk merubah sikap dan tingkah laku lawannya .

Dalam makalah kali ini penulis akan menjelaskan bagaimana diplomasi bilateral yang dilakukan antara Indonesia-Australia dalam masalah Timor-timur. Bagaimana diplomasi bilateral itu berjalan, dan siapa saja aktor-aktor Diplomasi Indonesia yang ikut serta dalam mengatasi masalah terebut.

Selama masa pemerintahan Orde baru (1975-1999) masalah Timor Timur tidak dianggap sebagai masalah penting dalam diplomasi. Para diplomat lebih menitiberatkan perhatian pada masalah politik tingkat tinggi yaitu masalah-masalah yang terkait dengan isu politik dan keamanan. Sebagai sebuah isu kecil, masalah Timor Timur tidak mendapatkan perhatian khusus dan tidak didukung oleh strategi nasional untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul. Timor Timur dipandang semata-mata sebagai isu rutin, dan maslaah yang muncul ditangani berdasarkan masalah kasus per kasus. Isu-isu seperti keterlibatan Indonesia di dalam Gerakan Non-Blok (NAM, ASEAN), bantuan luar negeri, yang melibatkan reputasi internasional Indonesia memperoleh prioritas yang lebih besar. Akan tetapi, perubahan sifat hubungan internasional pada dekade 1990an yang terkait dengan globalisasi dan transparansi telah menuntut diplomasi agar dijalankan secara lebih terbuka dan transparan. Dalam kondisi ini, isu Timor Timur menjadi lebih penting bagi aktivitas komunitas internasional.

Faktor penting bagi keberhasilan dan kegagalan diplomasi publik Indonesia antara lain peran media massa di Australia yang secara konsisten bersikap kritis terhadap pemerintah Indonesia. Kritik mereka terutama berkenaan dengan peran militer, pelanggaran-pelanggaran hal asasi manusia, dan tragedi-tragedi kemanusiaan lain yang terjadi di Timor Timur selama masa integrasi. Kritikan pedas media Australia berawal setelah kematian lima orang wartawan yang bekerja untuk media televisi Australia pada tanggal 16 Oktober 1975 di Balibo. Peristiwa ini kelak dikenal sebagai Peristiwa Balibo. Masalah muncul karena kurang tepatnya penanganan kasus oleh pemerintah Indonesia dan Australia sehingga menimbulkan tuduhan terjadi konspirasi untuk menutupi kasus ini dari publik kedua negara.

Diplomasi sukses apabila kedua belah pihak berhasil mengatasi kepentingan-kepentingan yang berbeda, atau apabila kedua belah pihak berhasil berkompromi dalam mengatasi perbedaan kepentingan. Tulisan ini akan membahas diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia terhadap Australia untuk kasus Timor Timur melalui kajian upaya-upaya diplomat Indonesia terhadap publik, pemerintah, media massa, dan kelompok-kelompok penekan Australia. Kajian meliputi kurun waktu tahun 1975-1999.

I.2 Rumusan masalah

Adapun pertanyaan masalah yang penulis ajukan dalam makalah ini adalah “bagaimana efektifitas dan tingkat keberhasilan diplomasi yang dilakukan antara Indonesia dan Australia dalam mengatasi masalah Timor-Timur?”

I.3 Kerangka teori

Diplomasi Bilateral

Bilateralisme mengacu pada hubungan politik dan budaya yang melibatkan dua negara. Sampai saat ini, kebanyakan diplomasi internasional dilakukan secara bilateral. Contohnya, penandatanganan perjanjian (traktat), tukar menukar Duta Besar, dan kunjungan kenegaraan. Alternatif diplomasi lainnya adalah multilateral,yang melibatkan banyaka negara dan unilateral,jika satu negara bertindak sendiri. Sering terjadi perdebatan mengenai efektifitas penerapan diplomasi bilateral dan Multilateral. Penolakan terhadap diplomasi bilateral pertama kali terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia I, ketika para politikus menyimpulkan bahwa sistem perjanjian internasional bilateral sebelum pecahnya Perang Dunia I yang sifatnya kompleks menyebabkan perang tidak dapat dihindarkan. Kondisi ini melahirkan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang menerapkan aktivitas diplomasi multilateral. Reaksi yang sama menolak perjanjian dagang terjadi setelah Depresi ekonomi dunia tahun 1930an. Kesepakatan-kesepakatan dagang bilateral menyebabkan meningkatnya tarif yang memperparah kejatuhan ekonomi beberapa negara. Maka setelah Perang Dunia,negara-negara Barat melakukan berbagai kesepakatan multilateral seperti General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Meskipun sistem diplomasi multilateral banyak dilakukan pada lembaga yang prestisius seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO),kebanyakan diplomasi masih dijalankan secara bilateral. Sistem ini mempunyai fleksibilitas yang lebih besar dan memudahkan pencapaian kompromi dalam sistem multilateral yang saling tergantung .

Penerapan Diplomasi Bilateral

Pada berbagai bentuk hubungan bilateral terdapat situasi ketika keberadaan dan fungsi Kedutaan Besar tidak dapat dipertahankan. Keputusan formal untuk menutup Kedutaan Besar terjadi ketika timbul masalah dengan satu atau lebih negara. Pemutusan hubungan diplomatik merupakan bagian dari masalah politik dan kekerasan, misalnya dalam bentuk penolakan untuk memberikan pengakuan negara , atau lebih sering lagi menolak pengakuan terhadap pemerintahan suatu negara yang sah. Maka ketika pecah perang atau muncul aksi protes terhadap aksi satu negara, diikuti dengan ‘pemutusan’ hubungan diplomatik. Tindakan seperti ini dapat juga diambil ketika pengakuan terhadap pemerintah yang berkuasa tetap diberikan. Akan tetapi, bahkan jika negara-negara yang memutuskan hubungan diplomatik ini siap berperang, tidak lama setelah itu, mereka biasanya menyadari kalau keduanya tetap berkepentingan untuk tetap saling mempertahankan arus komunikasi yang satu dengan yang lain. Komunikasi di antara negara-negara yang berkonflik tetap perlu dipertahankan karena kebutuhan untuk meminimalisir akibat dari menurunnya hubungan diplomatik, atau sebagai jalur untuk memulihkan hubungan formal.


Bab II

Analisis dan Pembahasan

II.1 Aktor-aktor Diplomasi Indonesia

Efektifitas dan keberhasilan diplomasi Indonesia dipengaruhi oleh aktor-aktor dalam sistem politik Indonesia. Aktor-aktor diplomasi termasuk aktor-aktor pribadi, diplomat, Presiden, para pejabat militer Angkatan Darat, dan institusi-institusi lain yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat. Sedangkan sistem politik Indonesia termasuk budaya politik dan pola hubungan antara aktor-aktor politik, termasuk Deplu, Presiden, ABRI/TNI, Opsus, Bakin, CSIS, dan dalam skala kecil Depdagri.

Kajian akan difokuskan pada aktivitas Deplu dan perannya dalam pembentukan politik luar negeri. Hambatan-hambatan yang dihadapi Deplu untuk mengakomodasikan agenda dan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari institusi-institusi pemerintah maupun bukan pemerintah akan merupakan pembahasa berikutnya. Analisis juga mencakup aktivitas Deplu dalam Diplomasi Publik serta pendekatan-pendekatan informal lain yang telah dilakukan terhadap media dan NGO’s di Australia.

• Peran Departemen Luar Negeri (Deplu)

Peran militer di di Deplu dilakukan melalui penguasaan jabata-jabatan strategis dalam struktur organisasi. Sejak awal pembentukan ORBA, mayoritas staf senior Deplu berasal dari ABRI. Konsep dwifungsi diterapkan dalam tubuh Deplu melalui penunjukan personel-personel militer pada posisi-posisi penting seperti Inspektur Jenderal, Sekretaris Jenderal, beberapa jabatan Direktur Jenderal seperti Dirjen Hubungan Sosial, Budaya dan Penerangan, Direktur Asia-Pasifik dan beberapa posisi Duta Besar di seluruh dunia terutama di negara-negara yang dianggap penting bagi politik luar negeri Indonesia . Meskipun dikuasai militer, karakter Deplu sebagai institusi sipil terus dipertahankan oleh Orde Baru dengan pengangkatan Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri pertama (1974-1978). Meskipun Adam Malik mempunyai hubungan yang erat dengan Soeharto, Deplu di bawah Menlu Adam Malik tetap bukan merupakan instiutusi penting dalam sistem politik Orde Baru. Naiknya para pejabat militer ke tampuk kekuasaan Orde Baru secara tidak langsung menghidupkan kembali persaingan Deplu dan ABRI yang terjadi sejak periode Presiden Soekarno dengan kemunculan istilah diplomasi perjuangan . Peran Deplu dalam perpolitikan Indonesia dipengaruhi oleh posisi dan peran Menteri Luar Negerinya: Adam Malik (1974-1978), Mochtar Kusumaatmaja (1978-1982), dan Ali Alatas (1982-2000). Akan tetapi, posisi Menlu dari kalangan sipil hanya kebijakan kosmetik , karena politik luar negeri dan diplomasi lebih banyak ditangani oleh para pejabat militer. Peran militer khususnya Angkatan Darat tetap signifikan dan terlibat langsung dalam politik luar negeri. Penempatan mereka pada posisi-posisi startegis menjamin kontrol terhadap Deplu .
Sebagai diplomat, para pejabat militer tidak memiliki pelatihan dan pengalaman memadai untuk menangani masalah-masalah hubungan internasional dan diplomasi. Akan tetapi, peran penting Dephankam dalam sistem politik Indonesia pada era Orba tidak memungkinkan Deplu menjalankan politik luar negeri yang independen. Dengan demikian, muncullah konflik kepentingan antara kedua institusi.
Keterlibatan langsung militer dalam politik luar dalam politik luar negeri dan diplomasi pada awalnya merupakan upaya ABRI membersihkan Deplu dari penganruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan personil-personil yang diduga terlibat dalam aksi G30S/PKI pada tahun1965 . Baru pada tahun 1983, beberapa pos penting dikembalikan kepada diplomat-diplomat karir, sementara tetap mempertahankan dua posisi strategis Sekjen dan Irjen .
Diplomasi Indonesia juga ditandai oleh dominasi Presiden Soeharto . Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatannya menangani politik luar negeri dan diplomasi tingkat tinggi. Latar belakang Soeharto dalam bidang militer memungkinkannya memperoleh dukungan penuh dari pejabat-pejabat militer . Deplu kemudian hanya berperan sebagai departemen teknis yang menangani masalah-masalah rutin yang tidak signifikan. Untuk masalah-masalah yang berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan personil-personil militer, Deplu samata-mata berperan sebagai agen hubungan masyarakat yang harus menjelaskan kepada dunia internasional alasan dan justifikasinya. Peran tersebut mempersulit posisi Deplu, karena terbatasnya informasi yang diberikan militer. Dalam kasus seperti Santa Cruz , Deplu memiliki keterbatasan-keterbatasan menghadapi dunia internasional. Deplu juga dituntut untuk membangun kembali citra dan reputasi Indonesia setelah terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia. Alasan pembenar yang paling sering dikemukakan oleh militer adalah keamanan dan menjaga kesatuan wilayah. Tindakan-tindakan militer dilakukan dengan mengeliminir semua bentuk pemberotakan, terutama yang dipersepsikan dapat merongrong wibawa atau menggulingkan pemerintah .

• Keterbatasan Strategi dan Taktik Diplomasi Deplu

Secara umum, Deplu tidak menerapkan taktik dan strategi khusus untuk menangani diplomas Timor Timur. Tidak adanya taktik dan strategi tersebut terkait dengan persepsi pemerintah Indonesia yang menanggap kasus Timor Timur sebagai isu penting meskipun pada kenyataanya sangat mempengaruhi hubungan dengan negara-negara lain . Kesalahan persepsi ini telah terjadi sejak Timor Timur resmi menjadi provinsi ke 27. Pemerintah Indoensia menganggap segala permasalahan, kejadian dan kebijakannya merupakan masalah domestik dan campur tangan luar dianggap sebagai intervensi asing.
Dilain pihak, para “diplomat” Timor Timur telah secara aktif membangun dan mengembangkan jaringan diplomatik di Australia, baik dengan pihak pemerintah, masyarakat dan media massa. Selain itu mereka telah terlebih dahulu menyadari pentingnya peran diplomasi publik bagi pembentukan opini publik. Diplomasi publik telah dilakukan melalui berbagai aktivitas lobby informal dan aksi-aksi yang melibatkan masyarkat luas dan media massa internasional .
Selain itu, media massa Australia memainkan peranan yang sangat besar bagi performa diplomasi Indonesia di Australia. Sayangnya opini publik di Australia tidak mendukung bagi perbaikan citra pemerintah Indonesia yang Otoritarian dan militerisme. Rusaknya hubungan Indonesia dengan media massa Australia terutama terjadi sejak peristiwa Balibo pada Juli 1975, ketika pemerintah Indonesia dianggap bertanggung jawab atas meninggalnya lima wartawan televisi Australia . Akan tetapi, pemerintah Indonesia secara tegas menyangkal keterlibatan ABRI dalam peristiwa tersebut, termasuk menyangkal keterlibatan ABRI pada perang saudara di Tmor Tmur . Penyangkalan bahkan didukung oleh pernyataan para diplomat Australia di Jakarta. Meskipun demikian, publik Australia tidak begitu saja mempercayai penjelasan resmi pemerintahanya bahkan lebih jauh lagi menuduh telah terjadi konspirasi politik dalam merancang kebohongan politik dengan cara menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya.
Opini publik Australia telah terlanjur meyakini bahwa pemerintah Indonesia tidak bersunggung-sungguh berupaya menegakkan keadilan dan mengungkap kasus Balibo. Ketidakpercayaan publik Australia terhadap pemerintah berimplikasi pada lemahnya dukungan publik Australia terhadap Indonesia, sehingga setiap isu negatif mencoreng citra dan reputasi Indonesia justru menjadi komoditas berita yang penting bagi media massa Australia.
Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirayuda menyadari kompleksitas masalah yang dihadapi para diplomat Indonesia termasuk tantangan dalam negeri . Peran dominan militer dan birokrasi yang membuat diplomasi Indonesia mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi terutama untuk membentuk opini publik internasional. Kondisi perpolitikan di Indonesia menyebabkan keraguan beliau akan keberhasilan diplomasi Indonesia bahkan jika ditangani oleh diplomat-diplomat yang terbaik dan kaya pengalaman . Selain itu, diplomasi Indonesia bertambah tingkat kesulitannya dengan maraknya pelanggaran hak asasi manusia oleh militer.
Kelemahan lain diplomasi Indonesia adalah fokus yang terlalu berat pada kegiatan diplomasi antara pemerintah (first track diplomacy). Fokus tersebut menyebabkan terbengkalainya hubungan diplomasi publik (second track diplomacy). Kelemahan diplomasi publik Indonesia diisi dengan baik oleh para diplomat Timor Timur dengan mengembangkan jaringan yang luas dan kuat dengan aktor-aktor perseorangan, NGOs, dan media massa internasional .
Berbagai upaya internal dilakukan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki citra Indonesia di dunia Internasional antara lain melalui peningkatan pembangunan fisik di Timor Timur. Akan tetapi, program-program tersebut kurang disosialisasikan kepada masyarakat internasional sehingga tidak menjadi catatan dan pertimbangan media massa internasional. Keberhasilan pembangunan hanya sedikit diketahui oleh masyarakat internasional. Selain itu, isu-isu pembangunan kurang memiliki nilai berita dibandingkan isu-isu yang menyangkut tragedi kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Kelemahan lain diplomasi Indonesia adalah diabaikannya peran penting Australia sebagai negara sasaran diplomasi. Sejak pemerintah Australia memberikan pengakuan de facto dan de jure terhadap integrasi Timor Timur dengan Indonesia, persoalan dengan Australia telah dianggap selesai.
Pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur oleh militer merupakan isu yang paling berpengaruh terhadap berfluktuasinya dukungan dari pemerintah dan publik Australia terhadap intergrasi Timor Timur. Berbagai pelanggaran hak asasi manusia sejak Timor Timur diberlakukan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) mengundang simpati dan kekhawatiran mendalam publik dan pemerintah Australia terhadap masyarakat Timor Timur. Hal ini meningkatkan dukungan publik Australia terhadap perjuangan rakyat Timor Timur untuk memperoleh kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri. Disisi lain, antipati dan kecaman terhadap pemerintah Indonesia dan khususnya ABRI semakin meningkat. Insiden Balibo telah menunjukkan kegagalan Deplu memperoleh informasi yang diperlukan dari TNI dan badan-badan intelejen. Keterbatasan ini menyebabkan terhambatnya informasi yang akurat dan tepat kepada masyarakat internasional, selain menimbulkan kesalahpahaman dan menurunkan citra Deplu sebagai agen informasi dan komunikasi internasional. Meskipun ketika menghadapi peristiwa ini pemerintah Australia menyadari peran Deplu yang tidak memiliki informasi mengenai keberadaan jurnalis Australia yang meninggal di Balibo, akan tetapi secara formal-prosedural, Kedutaan Besar Australia mengajukan pertanyaan kepada Deplu .


Bab III
Penutup
IV.1 Kesimpulan

Secara umum, diplomasi Indonesia yang dilakukan selama masalah di Timor Timur berlangsung telah gagal dalam menjaga citra Indonesia, mewakili kepentingan pemerintah dan mempertahankan hubungan yang stabil dengan Austarlia. Berbagai contoh kasus telah menunjukan bahwa kepentingan nasional Indonesia tidak berhasil diwakili dan dikomunikasikan melalui cara-cara diplomasi. Selain itu, dalam perubahan hubungan internasional eksternal pada era 1990an, diplomasi Indonesia mempertahankan diplomasi konvesional dan mengabaikan diplomasi publik. Kegagalan diplomasi disebabkan isu-isu domestik yang berhubungan dengan peran militer yang besar dalam bidang politik yang telah melemahkan peran Deplu dalam praktik diplomasi. Meskipun kegagalan diplomasi lebih banyak disebabkan faktor-faktor ekternal, secara internal, Deplu menghadapi masalah organisasional dan struktural. Masalah yang utama adalah kurangnya dukungan sumber daya manusia selain lemahnya koordinasi antar departemen dalam tubuh Deplu dan koordinasi dengan institusi-intitusi sipil dan militer.

Kelemahan lain yang menjadi kegagalan adalah visi bahwa Timor Timur bukan merupakan masalah penting yang memerlukan penanganan komprehensif. Meskipun kenyataannya isu Timur Timor telah membawa implikasi luas terhadap citra Indonesia di luar negeri, pemerintah Indonesia selalu meningkari kenyataan tersebut. Khususnya terhadap Austarlia, Indonesia tidak pernah menerapkan suatu stratregi khusus. Dalam hubungannya dengan Australia, diplomasi Indonesia tidak berhasil memenangkan hati publik Australia. Masalah utamanya adalah karena Indonesia tidak secara serius menangani persoalan Timor Timur di Australia. Dalam banyak kasus, Deplu dan pemerintah Indonesia secara umum tidak memperhitungkan sistem politik dan pengambilan keputusan dalam pemerintahan Australia. Selain itu, diplomasi Indonesia salama lebih dari dua dasawarsa dijalankan oleh kelompok kepentingan yang berbeda-beda yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Bukti nyata dari kegagalan diplomasi Indonesia adalah lepasnya Timor Timur sebagai wilayah negara Indonesia. Diplomasi Indonesia kemungkinan besar akan lebih berhasil apabila Deplu lebih banyak diberikan otoritas melakukan aktivitas diplomasi independen serta mengurangi campur tangan militer.


Daftar Pustaka

-http:www.csis.org/ics/dia/

-http//flagspot.net/flags/cy-trnc.html

-http//ms.wikipedia.org/wiki/Templat

-http:en.wikipedia.org/wiki/Bilateral

-Ibid

1 komentar:

Travelling Through Times mengatakan...

Sumber referensi minim. Tidak ada buku? Wikipedia tidak bisa dijadikan sumber referensi dalam tulisan akademis. Pembahasan masalah tidak fokus, masalah Timor-Timur dalam periode apa? Landasan teori tidak ada untuk mengukur tingkat efektifitas. Saya tidak menemukan teknik referensi dalam pembahasan.

10 Juni 2010 pukul 01.31

Posting Komentar