Pengantar Diplomasi (Amelia - 207.000.253)

Rabu, 02 Juni 2010 21.51 By diplomasi senin 1245


 

USAHA NEGOSIASI DAMAI PEMERINTAH SRILANKA DENGAN KELOMPOK SEPARATIS MACAN TAMIL

(1993-2008)

 

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2010

MATA KULIAH: PENGANTAR DIPLOMASI

Dosen : Shiskha Prabawaningtyas, M.A.

 

 

 

AMELIA ZANETA

207 000 253

 

 

 

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

2010

I. PENDAHULUAN

 

 

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pasca perang dingin dunia dihadapkan pada pergeseran mengenai pola sistem internasional mengenai konflik. Sebelum perang dingin selesai, dunia diwarnai dengan  konflik antar negara (inter state conflict), namun setelah perang dingin, dunia mengalami pergeseran pola konflik. Dunia diwarnai dengan konflik internal (intra state conflict). Faktor-faktor yang melatarbelakangi konflik internal adalah faktor kultural, krisis pemerintahan bahkan faktor yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Konflik internal dapat membawa dampak yang cukup luas baik itu berupa kerusakan lingkungan,stabilitas kawasan yang dapat terganggu, dan terkucilkannya suatu negara di mata dunia internasional, bahkan dapat memakan korban jiwa. Menurut survei yang dilakukan UNICEF, korban yang ditimbulkan akibat perang dunia I yang berasal dari penduduk sipil sebesar 5%, pada perang dunia II meningkat hingga 50%, sementara pada akhir abad ini angka korban sipil mencapai sekitar  80%.[1]  Perkembangan masalah atau konflik yang dihadapi oleh negara-negara pada abad ke-20 tepatnya pasca perang dingin juga telah berkembang. Tidak hanya mengenai isu politik dan militer saja, tetapi juga berkembang menjadi isu ekonomi, hak asasi manusia, kemiskinan, dan lingkungan.

            Srilanka merupakan salah satu negara yang masih mengalami krisis konflik etnis. Konflik tersebut telah ada sejak tahun 1976, antara etnis mayoritas, Sinhala (74% populasi) dengan etnis minoritas Tamil (18% populasi) dan umat muslim Srilanka (6%). Pemicu awal dari konflik ini ialah ketika pada tahun 1818, Inggris sebagai negara penjajah Srilanka (dulu bernama Ceylon), mendatangkan tokoh-tokoh intelektual dan cendikiawan suku Tamil dari India Selatan untuk di pekerjakan di berbagai sektor pemerintahan dan pertanaian di Srilanka. Kebanyakan dari pekerja Tamil ini di tempatkan pada posisi-posisi yang penting. Namun setelah Srilanka memperoleh kemerdekaan, mulai muncul rasa kecemburuan sosial terhadap suku Tamil. Dalam pemilu-pun suku Tamil tidak pernah memenangkan suara.

            Pada tahun 1953, Bandaranaike, mantan anggota Partai UNP (United National Party), membentuk partainya sendiri yang bernama Sri Lanka Freedom Party, dan mengikuti pemilu. Ketika akhirnya partai ini menang, ia memberlakukan kebijakan ‘Sinhala Only Act’ yang isinya penggunaan bahasa Sinhala sebagai bahasa resmi negara. Bangsa Tamil boleh tetap menggunakan bahasanya di wilayah mereka, namun dalam institusi mereka harus menggunakan bahasa Sinhala. Kebijakan ini pada akhirnya mengarah pada serangkaian diskriminasi yang dirasakan oleh bangsa Tamil, seperti pendiskriminasian dalam hak-hak bermasyarakat; tidak diakuinya hak milik tanah bangsa Tamil yang sifatnya turun temurun, atau diskriminasi dalam bentuk pekerjaan adalah susahnya dalam kenaikan jabatan atau promosi. Sedangkan diskriminasi dalam bidang pendidikan ialah standarisasi nilai agar dapat diterima di universitas. Murid-murid Tamil harus memperoleh nilai-nilai yang lebih tinggi dari murid-murid Sinhala. Meskipun pada akhirnya siswa-siswa Tamil memang selalu berhasil di terima di perguruan tinggi dan kebanyakan dari mereka diterima di bidang studi yang paling banyak diminati, seperti kedokteran.

            Kebijakan-kebijakan pemerintah yang seperti ini akhirnya membuat para pemuda Tamil membentuk organisasi pemuda yang berfungsi sebagai pemenuhan aspirasi etnis Tamil melalui jalur politik. Contoh dari organisasinya ialah seperti; Eelam National Liberation Font, People’s Liberation Organization of Tamil Eelam, Liberation of Tamil Tigers Eelam, Tamil United Liberation Front, dan Eelam Revolutionary Organisation of Students. Dari beberapa organisasi diatas, Liberation of Tamil Tigers Eelam (LTTE) adalah organisasi yang paling keras. Organisasi pemuda yang dipimpin oleh Vellupillai Prabakharan ini sering kali menggunakan kekerasan, seperti penggunaan senjata untuk memisahkan Srilanka bagian Utara dan Timur Srilanka (wilayah yang paling banyak ditempati oleh bangsa Tamil) dan mendirikan negaranya sendiri.


[1] Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah konflik, Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, (Jakarta: Rajawali Pers,2002), hal.47

B. RUMUSAN MASALAH

Chriss Mitchell mendefiisikan konflik sebagai suatu hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Setelah masa Perang Dunia berakhir, Samuel Huntington meramalkan bahwa pada dekade 1990-an ruang lingkup konflik akan menciut dari konflik antarnegara (inter-state conflict) menjadi konflik internal di dalam suatu wilayah negara yang bersifat lokal dan regional (intra-state conflict).

            Faktor-faktor yang melatarbelakangi konflik internal adalah faktor kultural, krisis pemerintahan bahkan faktor yang di latarbelakangi etnis dan agama. Konflik internal dapat membawa dampak yang cukup luas baik itu berupa kerusakan lingkungan, stabilitas kawasan yang dapat terganggu, dan terkucilkannya suatu negara di mata dunia internasional, bahkan dapat memakan korban jiwa.

            Kumar Rupesinghe membagi tipe konflik di Asia Selatan kedalam enam kategori:[2]

1. Konflik Ideologi

Merupakan suatu konflik yang terjadi karena adanya pertentangan paham ideologi/politik antar dua atau lebih kelompok. Pada umumnya, pertentangan ideologi politik terjadi antar ideologi sosialis dengan ideologi kapitalis.

Jika kita melihat pada situasi saat ini, salah satu contoh konflik ideologis adalah di India antara suku bangsa Assam dan Naga mengenai ideologi Sosialisme dan Maoisme.

2. Konflik Identitas/etnis

Konflik etnis seringkali menjadi sumber utama dari terjadinya konflik-konflik di dunia. Salah satu penyebab munculnya konflik etnis ialah ketika suatu kelompok minoritas dalam suatu negara berusaha untuk memisahkan diri dari pemerintahan. Salah satu contohnya ialah suku Pashtun di Pakistan atau Tamil di Srilanka.

[2] Kumar Rupesinghe, Khawar Mumtaz, Internal Conflicts in South Asia, London: Sage Publications, 1996), hal.173-176


3. Konflik Agama dan fundamentalisme

Agama juga seringkali menjadi alasan terjadinya konflik internal. Karena agama masih merupakan suatu bentuk identitas bagi masyarakat,

4. Konflik antar negara

Konflik antar negara seringkali terjadi di negara-negara yang posisinya masih berdekatan. Konflik seringkali terjadi ketika berhubungan dengan masalah wilayah, sumber daya alam, dan perbatasan. Contoh konfliknya ialah seperti yang terjadi antara India dan Pakistan dalam memperebutkan wilayah Kashmir. Wilayah Kashmir ini memiliki keunggulan dalam sumber daya alamnya. India dan Pakistan sama-sama mengakui bahwa wilayah ini merupakan bagian dari wilayah mereka. Konflik ini telah memakan korban yang banyak dan perebutan wilayah ini masih terjadi sampai saat ini.

5. Konflik melawan pemerintah/penguasa

Konflik antara masyarakat dan pemerintah ini seringkali terjadi karena pembagian kekuasaan atau kewenangan masyarakat dalam pemerintahan (desentaralisasi). Umumnya masyarakat berkonflik dengan pemerintah ketika masyarakat menginginkan porsi politik yang lebih besar dalam suatu negara atau ketika proses demokrasi tidak berjalan dengan baik.

6. Konflik Militerisme/kekerasan

Konflik yang berujung pada kekerasan seringkali terjadi karena pemerintah menggunakan kemampuan militernya untuk tetap dapat mengendalikan situasi di masyarakat atau mempertahankan kekuasaannya. Dalam beberapa konflik kekerasan yang terjadi di wilayah Asia Selatan, konflik seringkali dipicu oleh masalah-masalah pengabaian hak-hak rakyat, diskriminasi etnis, dan kondisi perekonomian yang menurun.

Konflik kekerasan juga seringkali terjadi dibawah pemerintahan militer. Namun saat ini di negara yang menganut faham demokratis dan dipimpin oleh sipil sekalipun, konflik kekerasan dan militerisme masih tetap terjadi.

Bentuknya kekerasannya ialah seperti penculikan, pembunuhan/penghilangan orang.

 

II. PEMBAHASAN

 

A. Usaha Negosiasi Damai Srilanka - Macan Tamil

            Konflik Srilanka merupakan salah satu konflik etnis yang mengalami masa pasang surut yang cukup lama. Korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak pun tidak sedikit. Baik dari Tamil maupun dari pemerintahan seringkali mendapat kecaman dari negara-negara lain dan organisasi internasional yang concern pada hak-hak asasi manusia.

            Konflik bersenjata pertama yang terjadi antara pemerintah dengan LTTE adalah pada tanggal 1983. Kejadian ini berawal ketika diserangnya para demostran anti Tamil oleh LTTE. Akibatnya 16 orang Sinhala tewas dalam kejadian itu. Beberapa hari kemudian, etnis Sinhala membalasnya dengan membunuh tiga ribu orang etnis Tamil. Peristiwa ini disebut sebagai insiden Black July. Sejak saat itu, pemerintah mengirimkan tentaranya untuk berjaga di wilayah Utara dan Timur Sri lanka untuk menghindari terjadinya kejadian serupa. Namun pengiriman pasukan tersebut malah memicu terjadinya kekerasan bersenjata kepada etnis Tamil, dan seringkali pelaku kekerasannya adalah tentara itu sendiri.

            Dalam setiap pergantian presiden, usaha untuk mendamaikan kedua etnis ini selalu menjadi agenda pada setiap calon, namun tidak banyak yang berhasil diimplementasikan. Contohnya, Presiden R. Premadasa yang berhasil menjalin kerjasama dengan tentara Tamil ketika akan mengusir Tentara Indian Peace Keeping Force di wilayah Utara dan Timur Srilanka. Setelah itu kedua belah pihak menghentikan permusuhan namun tanpa adanya kesepakatan mengenai gencatan senjata. Kemudian Presiden D.B. Wijetungga naik dan mencoba melanjutkan usaha perdamaian, namun tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Pihak LTTE yang merasa tidak puas, menarik diri dan menghancurkan kapal-kapal laut Sri Lanka.

            Situasi antara LTTE dan pemerintahan mulai menunjukkan perubahan di tahun 2001. Pengeboman WTC di Amerika Serikat memicu timbulnya euforia anti terorisme di seluruh dunia. Amerika Serikat meminta kepada negara-negara di dunia untuk bekerjasama melawan teroris di negaranya masing-masing.

            Wacana mengenai teorisme inilah yang merubah peta konflik antara pemerintah dengan LTTE. Pihak LTTE tidak ingin mendapat label teroris karena semua tindakannya dalam melawan pemerintahan. Karena itulah pada tahun 2001, LTTE menawarkan upaya perdamaian melalui gencatan senjata. Tawaran ini kemudian disetujui oleh Perdana Mentri Ranil Wickremasinghe.

Akhirnya pada tanggal 22 Februari 2002, kedua belah pihak yang bertikai setuju untuk menandatangani MoU, melalui fasilitatornya, Norwegia yang di wakili oleh Joy Westborg. Sesaat setelah ditandatanganinya perjajian gencatan senjata tersebut, Jan Peterson, Menteri Luar Negeri Norwegia, langsung mengumumkan hal tersebut di Oslo. Gencatan senjata ini merupakan yang pertamakalinya dilakukan di Srilanka, setelah sebelumnya juga pernah dilakukan kesepakatan perdamaian tahun 1995, namun hanya dapat bertahan selama 100 hari. Aspek yang membedakan perjanjian perdamaian di tahun 2002 dengan tahun 1995 adalah di lakukannya pemonitoran yang dilakukan oleh negara-negara penengah terhadap kedua kubu. LTTE dan pemerintah wajib menyerahkan laporan setiap dua minggu, untuk memantau apakah kedua kubu melanggar perjanjian.[3] Untuk itulah di tahun yang sama di bentuk Sri Lanka Monitoring Mission (SLMM). SLMM ini merupakan badan yang di bentuk setelah kedua pihak sepakat dengan adanya pemantauan yang dilakukan oleh negara-negara penengah dan menandatanganinya. Anggota dari SLMM ini ialah Norwegia, Islandia, Swedia, dan Denmark.

            Pasca ditandatanganinya MoU damai, stabilitas keamanan di Srilanka relatif lebih tenang. Meskipun tidak aman sepenuhnya, karena masih terjadi beberapa peristiwa, namun tidak besar. Masyarakat sudah berani mendatangi wilayah utara dan Timur dan sudah mulai dilakukannya renovasi infrastruktur di tempat-tempat yang hancur karena konflik. Renovasi ini dapat berjalan karena sumbangan yang di berikan oleh masyarakat internasional yang diketuai bersama oleh oleh Norwegia, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dalam situasi yang berhasil dkendalikan, pertumbuhan ekonomi mulai dapat ditingkatkan. Berdasarkan dokumen PBB, An Agenda for Peace, membina perdamaian terdiri dari berbagai aktifitas yang berkaitan dengan membina rekonsiliasi, dan perubahan masyarakat. Membina perdamaian merupakan proses panjang setelah konflik yang terjadi mereda atau berhenti. Ini merupakan suatu proses yang terjadi setelah perdamaian dan mempertahankan perdamaian.

Jika kita melihat dalam spektrum konflik dan perdamaian, situasi antara kedua belah pihak sudah berada dalam tahap ketiga, yaitu sudah dimulainya proses termination dan peacekeeping operation, tahap ini dimulai ketika kedua belah pihak telah setuju untuk melakukan gencatan senjata dan mulai adanya tindakan untuk melakukan perundingan perdamaian. Melakukan perundingan perdamaian dengan pihak lawan merupakan suatu usaha diplomatik untuk mengakhiri kekerasan antara kelompok yang bersengketa, mendorong mereka untuk melakukan dialog damai, dimana akhirnya tercapai kesepakatan damai.

Menurut Darby dan Mcginty, terdapat lima kriteria dasar untuk mendefinisikan proses perdamaian, yaitu:

        Pihak yang berlawanan dengan bersikap baik berkehendak untuk berunding

        Tokoh-tokoh kunci diikut sertakan dalam proses

        Pembahasan negosiasi berpusat pada pokok permasalahan

        Peserta negosiasi tidak memaksakan kehendaknya

        Peserta negosiasi beritikad menjaga perdamaian

 

Terdapat tiga alasan sampai akhirnya pemerintah dan LTTE sepakat untuk melakukan gencatan senjata;

  1. Jumlah korban yang terus meningkat dari kedua belah pihak. Laporan jumlah korban yang meninggal dan kehilangan tempat tinggal memiliki angka yang berbeda-beda dari setiap sumber. BBC indonesia melaporkan sekitar 70 ribu orang terluka dan kehilangan tempat tinggal. Banyaknya jumlah korban dan pengungsi membuat Srilanka mendapat kecaman dari masyarakat internasional yang fokus terhadap nilai-nilai HAM.
  2. Dari segi ekonomi, konflik ini sangat menguras budgeting pemerintahan. Pembangunan negara menjadi terhambat karena sebagian besar pendapatan negara dialokasikan kedalam peningkatan persenjataan atau pertahanan negara. Biaya perang yang dikeluarkan pemerintah mencapai $ 1 milyar / tahun (lebih dari 5% GDP) dan menurun drastisnya sektor turisme dan investasi asing di negara ini yang berakibat dalam berkurangnya pendapatan negara yang mencapai 1,4%.
  3. Kelompok LTTE dan pemerintahan sama-sama kuat, sehngga tidak dapat saling mengalahkan. Pemerintah Srilanka bahkan sampai mengatakan bahwa LTTE merupakan organisasi terorisme terkuat di dunia. Kelompok LTTE selalu berhasil meyerang lokasi-lokasi vital negara yang megakibatkan kerugian besar, seperti pengeboman bank sentral, penyerangan terhadap kapal-kapal pemerintahan, dan banyak bom bunuh diri yang salah satunya pernah menewaskan presiden Srilanka.

 

Setelah penandatanganan MoU, meskipun keadaan sudah lebih membaik dari sebelumnya, namun masih terjadi beberapa bom bunuh diri dan konflik bersenjata. Seperti ketika terjadi pemberontakan di badan LTTE yang dipimpin oleh Kolonel Karuna yang melakuan bom bunuh diri dan menewaskan beberapa warga sipil. Selain itu LTTE juga dicurigai meningkatkan kekuatan militernya. Hal-hal seperti ini yang mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan antar kedua belah pihak. Pada bulan Oktober 2003, Pihak LTTE mengajukan proposal Interim Self-Governing Authority (IGSA) yang berisi bahwa LTTE akan memegang pemerintahan sementara pada wilayah Utara dan Timur dengan dasar otonomi penuh. Tapi hal ini tidak disetujui oleh pemerintahan. Karena khawatir dengan sikap pemerintah yang terlalu lemah, Presiden Chandrika membubarkan pemerintahannya pada tahun 2004.

            Dalam pemilu 2004, Mahinda Rajapaksa terpilih sebagai Perdana Menteri Srilanka dan tidak lama kemudian, sebagai presiden. Pada bulan Desember di tahun yang sama, tejadi bencana tsunami yang mengenai bagian Timur dan Selatan Srilanka dan itu termasuk wilayah kekuasaan LTTE.

Kejadian tersebut membuat masyarakat internasional meminta adanya kerjasama yang lebih baik lagi antara pihak LTTE dan Pemerintah. Untuk itulah pada tanggal 24 Januari 2005 kedua belah pihak menandatangani MoU Post Tsunami Oprational Management Structure. MoU tersebut juga diharapkan dapat menyelesaikan pesoalan konflik yang terjadi selama ini. Namun sayangnya -

P-TOMS tidak pernah dapat di implementasikan karena mendapatkan tentangan dari bangsa Sinhala.

Salah satu faktor kemenangan Mahinda Rajapaksa terjadi karena mendapat dukungan yang besar dari kelompok radikal Sinhala. Mereka menentang penyelesaian konflik LTTE dengan cara damai, menuntut pemerintah untuk melakukan operasi militer. Pada dasarnya mereka menuntut penyelesaian konflik dalam negara kesatuan Srilanka, seperti yang terdapat dalam visinya “Mahinda Chintana”.

Pada awal pemerintahannya, Presiden Rajapaksa mengajak LTTE untuk mencari solusi damai. Pihak LTTE menarik diri dari negosiasi perdamaian dan membunuh beberapa personil militer Srilanka. Namun Norwegia berhasil bertindak sebagai negosiator dan membuat perundingan berhasil dilakukan di Jenewa, tanggal 22-23 Februari 2006. Hasilnya, kedua pihak yang berkonflik setuju untuk melanjutkan perdamaian dan menghentikan permusuhan.

            Semua upaya perundingan yang berusaha dilakukan oleh negara negosiator dan pihak yang berkonflik tetap tidak menghentikan serangan-serangan dari kedua belah pihak. Seperti yang dilakukan oleh LTTE ketika mereka melakukan bom bunuh diri di dalam markas besar AD yang kemudian di balas oleh pemerintah dengan memborbardir wilayah Utara dan Timur, sehingga peperangan kembali terjadi. Namun tetap tidak ada yang membatalkan MoU gencatan senjata.

            Totalnya, setelah penandatanganan MoU gencatan senjata, pihak LTTE dan pemerintah telah melakukan pertemuan negosiasi perdamaian sebanyak enam kali. Pemerintahan terus berusaha untuk melakukan negosiasi damai tapi juga tetap menyerang wilayah-wilayah kekuasaan LTTE. Pemerintah Srilanka juga meminta masyarakat internasional untuk mendesak LTTE agar menghentikan teror dan setuju dengan jalur perdamaian yang ditawarkan oleh pemerintah. Sementara itu tujuan LTTE adalah di setujuinya Intering Self- Governing Authority (ISGA) sehingga mereka mendapatkan otonomi penuh di wilayahnya. Karena itulah LTTE tidak akan menghentikan aksi terornya.

            Pada akhirnya pemerintah dengan resmi menarik perjanjian gencatan senjatanya pada tanggal 16 Januari 2008, dengan jumlah korban yang di culik dan di bunuh sebanyak 20 ribu - 30 ribu jiwa, pada tahun 2006 sampai awal 2009.[4] Pembatalan MoU secara otomatis juga turut me-non aktivkan fungsi Sri Lanka Monitoring Mission.

[3] http://www.satp.org/satporgtp/countries/shrilanka/document/papers/memorandum2002.htm. diakses pada tgl       31 Mei 2010, pukul 17:56

[4] www.internationalcrisisgroup.com , diakses pada 28 Mei 2010. pkl 11.34 WIB


 

B. Situasi Srilanka Pasca Pembatalan Perjanjian Perdamaian

Setelah perjanjian perdamaian di batalkan, dengan segera keadaan menjadi semakin buruk. Hal ini dipicu setelah kembalinya Karuna dari penahanannya di Inggris. Karuna langsung aktif dalam perpolitikan dengan bergabung di Tamil Makkal Viduthalai Puligal (TMVP), salah satu organisasi bangsa Tamil. Karuna berhasil memenangkan suara dan membawanya bergabung dengan parlemen.

Pada Januari 2009, pemerintah menyerang tentara LTTE di distrik Mullaitivu yang banyak terdapat rakyat sipil sehingga mengakibatkan 300.000 orang terjebak dalam lokasi peperangan dimana akses air dan makanan sangat terbatas. Pada tanggal 13 Maret 2009 PBB menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di sana, dan meminta kepada kedua belah pihak untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanuasiaan, tapi pemerintah menolak untuk berhenti sejenak dari peperangan. Dalam peristiwa ini PBB mengindikasikan sekitar 7.500 orang meninggal dan lebih dari 15.000 orang yang terluka antara pertengahan Januari sampai awal Mei. Pada minggu terakhir peperangan, di awal Juni media melaporkan sekitar 20.000 orang meninggal tetapi kabar ini di bantah oleh pemerintah.

Mei 2009, pemerintah mengumumkan kemenangannya dengan menunjukkan foto jasad pemimpin LTTE, Velupillai Prabhakaran. Prabhakaran tewas ketika berusaha melarikan diri dari perang bersama dua orang deputinya. Mereka menggunakan mobil ambulans untuk keluar dari daerah konflik, tetapi tentara pemerintah berhasil meroket mobil tersebut.

Dengan kekalahan dari pihak LTTE ini, tentara yakin bahwa mereka telah berhasil menghentikan gerakan separatisme yang terjadi selama 25 tahun ini.

            Meskipun demikian, banyak juga pihak yang merasa bahwa konflik bersenjata dapat terjadi lagi sewaktu-waktu. Konflik yang terjadi di Srilanka sama seperti konflik yang terjadi di Aceh. Dan walaupun membutuhkan waktu, Indonesia berhasil menyelesaikan konflik tersebut dengan jalur diplomasi, dengan mendapatkan bantuan dari mediatornya.

 

 

III. PENUTUP

 

A. KESIMPULAN

            Konflik antar etnis merupakan konflik yang paling sering terjadi di banyak wilayah. Konflik ini seringkali terjadi karena pendiskriminasian etnis secara struktural, pengabaian hak-hak etnis tertentu, dan tidak tersalurkannya kepentingan-kepentingan masyarakat. Konflik yang terjadi di Srilanka merupakan salahsatu contoh konflik etnis yang telah berlangsung selama 25 tahun. Etnis Tamil, sebagai kelompok yang termarjinalkan, menuntut pemerintah untuk melepaskan Srilanka bagian Timur dan Utara dimana disana banyak terdapat bangsa Tamil. Sedangkan pemerintah, yang terdiri dari etnis Sinhala, tidak menyetujui tindakan separatisme tersebut.

            Liberation of Tamil Tigers Eelam (LTTE) merupakan salah satu organisasi yang mewakili etnis Tamil. Organisasi ini sering menggunakan kekerasan dalam melawan pemerintahan, seperti pemboman pada kantor-kantor pemerintahan dan bom bunuh diri. Tigapuluh dua negara telah menganggap organisasi ini sebagai kelompok terorisme.

            Dilain pihak, meskipun selama masa konflik ini Srilanka telah berganti beberapa presiden, tetapi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini seringkali menggunakan cara kekerasan. Usaha negosiasi damai yang di lakukan oleh kedua belah pihak hampir selalu gagal.

Negosiasi damai baru berhasil dilakukan setelah Norwegia diangkat sebagai pihak ketiga dalam konflik ini. Akhirnya pada tahun 2001 kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menandatangani Memorandum of Understanding yang mensepakati dilakukannya gencatan senjata. Selama masa ini pihak pemerintah menawarkan perundingan perdamaian sebanyak enam kali, namun semuanya di tolak oleh LTTE.

            Setelah penandatanganan MoU, tujuan LTTE berubah, dari separatisme menjadi otonomi penuh bagi wilayah Timur dan Utara. Namun draft ini tetap tidak disetujui oleh pemerintah.

Selain itu, mesipun keduanya sepakat untuk melakukan gencatan senjata, tapi konflik bersenjata yang memakan korban masih tetap terjadi. Tapi masing-masing pihak tidak ada yang mencabut kesepakatannya.

            Puncak dari konflk ini terjadi pada awal 2009, ketika akhirnya pemerintah memutuskan untuk memborbardir wilayah kekuasaan Macan Tamil yang berujung pada tewasnya pemimpin Tamil. Presiden Mahinda Rajapaksa yakin bahwa kemenangan ini telah berhasil meredam separatisme di wilayahnya. Ia juga mengkonfirmasi bahwa perang yang dilakukan oleh tentaranya bukanlah perang untuk melawan etnis Tamil, tetapi untuk mengalahkan kelompok separatisme.

Pada akhirnya penulis sampai pada kesimpulan bahwa cara diplomasi tidak berhasil digunakan untuk menyelesaikan konflik Srilangka, meskipun pemerintah berhasil mendatangkan pihak ketiga sebagai penengah konflik, tapi kedua pihak sama-sama tidak mematuhi kesepakatan perdamaian yang telah dibuat. 

 

           

 

 

Daftar Pustaka

 

 

Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah konflik, Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: Rajawali Pers

 

Rupesinghe, Kumar, Khawar Mumtaz. 1996. Internal Conflicts in South Asia. London: Sage Publications

 

http://www.beyondintractability.org/m/peacebuilding.jsp?nid=5154

 

http://www.satp.org/satporgtp/countries/shrilanka/document/papers/memorandum2002.htm -

 

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/02/05/29503-konflik-sri-lanka-telan-52-korban-sipil -  31 Mei 2010 /

 

http://www.antaranews.com/berita/1253127773/pejabat-pbb-kunjungi-sri-lanka-dorong-penyelidikan-ham. 31 Mei 2010/ 19.16

 

http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4198096,00.html.

 

www.internationalcrisisgroup.com

 

 

 

 

 

 



[1] Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah konflik, Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, (Jakarta: Rajawali Pers,2002), hal.47

[2] Kumar Rupesinghe, Khawar Mumtaz, Internal Conflicts in South Asia, London: Sage Publications, 1996), hal.173-176

 

[4] www.internationalcrisisgroup.com , diakses pada 28 Mei 2010. pkl 11.34 WIB

1 komentar:

Travelling Through Times mengatakan...

Nice article. Good jobs. Akan lebih baik jika pembahasan dinamika konflik hanya dilakukan secara tematik sebagai latar belakang dan lebih memfokuskan pada tahapan negosiasi. Banyak poin-point dalam proses ini yang bisa dianalisa lebih lanjut

9 Juni 2010 pukul 00.20

Posting Komentar