Diplomasi Negara-negara Selatan Semasa Perang Dingin

Rabu, 02 Juni 2010 02.20 By diplomasi senin 1245

Diplomasi Negara-negara Selatan Semasa Perang Dingin

Pendahuluan

Dalam artikel ini saya akan membahas mengenai hubungan kerjasama antar Negara-negara bagian selatan dunia yang mengacu kepada Negara-negara berkembang kebanyakan. Sumber-sumber yang saya dapat kebanyakan saya ambil dari buku yang di tulis oleh Bapak Makarim Wibisono yang berjudul Tantangan Diplomasi Multilateral. Namun saya akan menganalisa perkembangan lebih kanjut mengenai hubungan-hubungan diplomasi antar Negara-negara selatan ini dengan perspektif saya sendiri serta mengajukan sebuah kritik bagi fenomena-fenomena hubungan internasional antara Negara-negara bagian selatan.

Negara-negara berkembang yang dikategorikan termasuk kedalam Negara-negara kedalam bagian selatan ini mempunyai kredibilitas sendiri meskipun baru dibilang Negara berkembang. Secara umum yang kita ketahui adalah Negara-negara selatan adalah Negara-negara yang mempunyai cirri sebagai berikut : Standar hidup yang rendah, pendapatan per kapita nasional, tingkat kemiskinan, derajat kesehatan, tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat kesempatan kerja dan pengangguran, ketergantungan pada produksi pertanian dan produksi barang primer, dan ketergantungan pada ekspor[1]. Kenapa demikian ? karena setelah pasca perang dingin selain Negara-negara selatan yang merupakan sebagai korban dari pertarungan dua ideology besar pada saat itu namun Negara-negara selatan jugalah yang menetralisir keadaan secara perlahan namun pasti demi meredamnya perang dingin tersebut. bisa dikatakan juga tanpa adanya Negara-negara selatan ini, maka perang dingin bisa jadi akan terus berlanjut. Contohnya ketika Indonesia dengan beberapa Negara-negara selatan lainnya seperti Afrika Selatan membuat gerakan non-blok untuk menepis adanya setiran-setiran dari kedua ideology yang sedang berperang tersebut. atau juga dengan gerakan Kelompok 77, yang merupakan forum negosiasi bagi Negara-negara berkembang yang ingin memperjuangkan aspirasi dan kepentingan Negara-negara berkembang di berbagai forum PBB. Atau OKI (organisasi Konferensi Islam) yang memberikan banyak perhatiannya mengenai reformasi system keuangan internasional, penguat perdagangan multilateral dan bantuan Negara-negara anggota serta badan-badan terkait OKI kepada Negara-negara terbelakang dalam upaya meningkatkan kemampuan ekonomi[2]. Karena memang kebanyakan Negara-negara yang menjadi anggota OKI adalah Negara-negara islam yang mempunyai demikian banyaknya minyak sebagai komoditas utama dalam perekonomian dunia. Kalaulah tidak ada gerakan-gerakan semacam itu antara Negara-negara selatan maka, dunia ini hanya akan terbagi dua kubu antara kapitalis dibawah naungan Amerika dan Komunis dibawah naungan Soviet pada waktu itu. Demikian juga dengan bagimana perbedaan antara selatan dan utara itu terjadi adalah salah satu faktor yang mendasar akan pengaruh, power, dan kapabilitas Negara-negara utara yang pada waktu itu memang mendominasi dan menghegemoni dunia ini. Sehingga Negara-negara selatan hanyalah dijadikan sebagai Negara-negara murid nantinya. Meskipun pada kenyataannya memang demikian Negara-negara selatan tidak putus asa dalam menghadapi setiap tantangan yang melintang di arena percaturan diplomasi dengan Negara-negara utara yang notabene adalah Negara-negara maju. Karena, Negara-negara maju tersebut pasti juga akan membutuhkan Negara-negara selatan sebagai teman ataupun lawan dalam percaturan arena diplomasi dunia baik secara bilateral ataupun multilateral.

Langkah konkrit apa yang dilakukan Negara-negara selatan demi memperjuangkan tiap-tiap kepentingan masing-masing Negara-negara selatan, terlebih setiap kepentingan yang dimiliki oleh Negara-negara selatan itu harus bertabrakan dengan Negara-negara utara mulai dari ekonomi, sosial budaya, hingga pertahanan nasional masing-masing Negara ? serta bagaimana Negara-negara selatan tersebut akan bisa mengejar ketertinggalan mereka dalam berbagai bidang dari Negara-negara utara tersebut ? sedangkan dominasi politik yang dilakukan oleh Negara-negara maju tersebut tetap berkembang dan semakin berkembang di tengah-tengah dinamika politik Negara-negara berkembang ?

Disini saya akan mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menganalisisnya terlebih dahulu. Namun seperti yang saya katakana sebelumnya, ditulisan ini saya bukan bermaksud ingin memberikan sebuah jawaban pasti atau solusi pasti mengenai apa, kapan dan bagaimana Negara-negara selatan nantinya harus bertindak melainkan hanya sekedar menganalisis dan memberikan kritik serta saran yang barangkali sangat berguna nantinya.

Semenjak perang dingin, Negara-negara selatan, Negara-negara berkembang, atau ada yang bilang sebagai Negara ketiga, adalah Negara-negara yang paling naas terkena dampak dari perang dingin antara liberal kapitalis (AS) dan komunis (US). Negara-negara ini sanggup berperang melebihi kedua Negara besar tersebut atas dasar mengutamakan ideology sebagai penyalur kepentingan yang paling benar untuk dikedepan harinya. Kedua Negara adidaya tersebut tidak segan-segan untuk menonton terjadinya perpecahan yang terjadi antar Negara-negara yang baru saja berkembang demi kepentingan kedua Negara adidaya tersebut. dengan doktrin kebebasan individual dan perlawanan rakyat atas tirani maka Negara-negara berkembang itu menjadi tempat bertelurnya kedua ideology dari dua Negara adidaya itu. Peristiwa ini memang sangat menggemparkan mengingat banyaknya korban yang jatuh demi kepentingan Negara-negara besar dibalik ini semua. Maka Negara-negara selatan atau Negara-negara berkembang kebanyakan ingin membebaskan dirinya terlebih dahulu sebelum di kurung kedalam tragedy pembelaan ideology sampai mati tersebut. dengan begitu kesadaran ini membuat banyak Negara-negara selatan bersikeras untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan-kepentingan Negara-negara selatan tersebut demi terciptanya perdamaian dunia serta hak kesetaraan yang didapat tanpa harus diboncengi kepentingan ideology tertentu atau Negara tertentu.

Gerakan Non-Blok

Gerakan non-Blok pertama kali didirikan oleh Negara-negara yang baru saja merdeka pada 18-25 april 1955 dalam konferensi Asia Afrika di Bandung dengan tujuan kalau Negara-negara yang baru saja merdeka ini harus menentukan sikapnya dan ketidakberpihakkannya terhadap salah satu blok pada saat itu yang sedang berperang secara ideology[3]. Dimana blok timur yang dikendalikan oleh Uni Soviet dengan komunisnya, dan Blok Barat yang dikendalikan oleh Amerika dengan liberal kapitalisnya. Banyaknya korban yang telah berjatuhan hanya karena pertarungan ideology ini menyebabkan munculnya reaksi dari Negara-negara selatan yang pada umumnya saat itu baru saja merdeka dan hendak mencari sebuah sikap agar tidak menjadi korban perang dingin tersebut. Keinginan untuk menentukan sikap tersebut dipandang sangat penting karena sebagai Negara yang baru saja merdeka Negara-negara selatan ini ingin menunjukkan bahwa kemandirian tanpa bergantung dengan ideology lain terlebih sampai menjadi korban akan membuktikan bahwa Negara-negara tersebut murni 100% merdeka dan kedaulatannya diakui tanpa menimbulkan prasangka-prasangka tertentu. Keinginan tersebut akhirnya terwadahi oleh gerakan non-blok ini yang bekerjasama untuk memberikan bantuan kepada siapapun yang menginginkan terciptanya keamanan dan perdamaian dunia. Tugas yang diemban gerakan non-blok ini tergolong cukup berat karena pada waktu itu, isu mengenai pertarungan ideology ini sangatlah sensitive dan atau bahkan sangat sensitive mengingat pendirian Negara-negara yang baru saja merdeka tersebut masih sangatlah tidak stabil mengingat intelijen-intelijen dari kedua Negara adidaya tersebut menyelinap dan memberikan doktrin-doktrinnya. Karena, kalau saja suatu Negara anggota yang apabila politik domestiknya sedang berada dalam keadaan kacau, maka bisa saja mempengaruhi gerakan non-blok itu dengan menyelinap kemudian menggagalkan misi daripada awal mula tujuan didirikannya gerakan non-blok tersebut. Gerakan ini bukan berarti setiap Negara yang masuk menjadi anggotanya tidak memiliki ideology tertentu yang berhubungan dengan kedua Negara adidaya tersebut. justru menurut saya hal tersebutlah yang memberikan kepastian bahwa gerakan ini meski Negara-negara yang menjadi anggota dari gerakan non-blok itu mempunyai kesamaan ideology akan salah satu Negara adidaya yang sedang berperang itu, membuat gerakan ini menjadi lebih konkret dan terbatasi. Terbatasi dalam artian kalau tujuan-tujuannya benar-benar tidak berhubungan dengan penyebaran ideology dari salah satu Negara adidaya pada saat itu.

Pada intinya, gerakan non-blok ini bukan ingin menghasut Negara-negara selatan untuk tidak memilih salah satu ideology dari Negara-negara adidaya yang sedang berperang itu melainkan untuk tetap menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian dunia dan mempererat hubungan Negara-negara yang baru saja merdeka itu meskipun mempunyai ideology yang berbeda. Dengan begitu juga akan mengurangi korban-korban yang berjatuhan akibat dari pertarungan kedua Negara tersebut yang menjadikan tumbal Negara-negara selatan pada umumnya sebagai lahan penyebaran ideology yang akan berperang demi ideology nantinya.

Ketika perang dingin berakhir, apakah gerakan non-blok ini masih akan tetap berlaku ? atau bisa saja bubar karena sudah tidak berlaku lagi sesuai dengan isu yang berkembang ? atau gerakan ini berubah menjadi gerakan yang lain disesuaikan dengan isunya ?

Gerakan Non-Blok tidak berubah namanya ataupun tujuan awalnya hingga saat ini. Bahkan gerakan ini juga dinilai sebagai gerakan yang mampu mempererat Negara-negara anggotanya sejak perang dingin hingga perang dingin usai dan sekarang ini. Gerakan ini berhasil mempertahankan eksistensinya dikarenakan kemampuannya untuk memanage sebuah hubungan baik antar Negara-negara anggota dengan tetap menyesuaikan bentuk kerja sama dengan kondisi dan situasi yang berlaku. Tidak hanya mengenai pertahanan nasional Negara-negara anggotanya melainkan sebuah hubungan kerja sama dalam bidang sosial budaya dan ekonomi yang dijembatani oleh gerakan ini. Meskipun gerakan ini tidak bertujuan kearah ekonomi namun eratnya hubungan antar Negara-negara anggota tersebut mampu menjembatani sekaligus kerja sama dalam bentuk apapun. Inilah yang kemudian membuat gerakan non-blok ini bisa bertahan hingga kini meskipun perang dingin sudah usai. Dan gerakan non-blok ini akan terus menjadi jembatan antara sesama Negara-negara anggotanya agar tetap terbinanya hubungan yang harmonis antar Negara anggota sehingga tetap menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian dunia.

Gerakan non-blok dan Indonesia

Indonesia adalah salah satu Negara yang mengusulkan untuk dibentuknya gerakan non-blok ini dengan tujuan agar Indonesia ini tidak terpengaruh akan perang dingin yang sedang berkecamuk saat itu. Soekarno yang pada saat itu menjabat sebagai presiden RI menjadi salah satu the founding father bagi gerakan non-blok ini. Karena gerakan ini sangat berguna bagi Negara-negara yang baru saja merdeka dan khususnya Negara-negara selatan sebagai Negara yang ingin mendapat pengakuan secara internasional. Karena Negara-negara tersebut baru saja merdeka maka Negara-negara tersebut membutuhkan sebuah pengakuan internasional sekaligus mempererat hubungan dengan Negara-negara lain demi menyalurkan kepentingan nasionalnya. Begitu juga Indonesia, dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif gerakan non-blok ini mewadahi kepentingan Indonesia sendiri untuk menunjukkan kepada dunia internasional selain Indonesia sudah merdeka dan memperkuat pengakuan internasional terhadap kedaulatannya yang terlepas dari belanda, Indonesia ingin menunjukkan bahwa Negara kesatuan Indonesia ini tidak ada hubungannya dengan perang dingin antara dua Negara adidaya tersebut. hal ini sangat penting mengingat perang dingin yang sangat menghebohkan percaturan politik dunia pada saat itu, sangatlah mempengaruhi kredibilitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru saja merdeka dan mandiri. Oleh karena itu Indonesia membuat ide gagasan gerakan non-blok dengan beberapa Negara lain yang setuju akan ide tersebut.

Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif tersebut memberikan sebuah ide besar dan sangat tepat pada saat itu dalam gerakan non-blok ini. Dan hal ini juga membuat Negara-negara lain yang baru saja merdeka turut menyumbangkan aspirasinya terhadap gerakan non-blok ini agar benar-benar terciptanya perdamaian dan keamanan dunia. Bebas untuk menetukan sikap dan aktif dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia, itulah yang membuat gerakan non-blok ini menjadi sebuah gerakan penting bagi Negara-negara yang baru saja merdeka selain Indonesia khususnya Negara-negara selatan.

Gerakan non-blok ini ditujukan bagi Negara-negara yang baru saja merdeka untuk menyalurkan kepentingannya dan menjalin hubungan internasional dengan Negara lain secara lebih efektif dan damai. Untuk itu gerakan ini sangatlah penting bagi Indonesia untuk menyuarakan dan menunjukkan citra Indonesia di kalangan internasional sebagai Negara yang tidak hanya merdeka, berdaulat, dan mandiri melainkan turut serta menjaga perdamaian dunia internasional.

Saya mengira bahwa situasional pada saat itu sangatlah krusial mengingat hebohnya perang dingin yang sedang berkecamuk, antara komunis dan liberal kapitalis, Soekarno melontarkan idenya yangbegitu hebat dan membuat Negara-negara lain turut serta membantu dalam gerakan non-blok ini. Tidak heran kenapa Soekarno-Hatta menjadi salah satu tokoh the founding father, yang memang benar-benar mempunyai kapabilitas dan kredibilitas secara domestic maupun secara internasional. Indonesia yang pada saat itu juga tengah dilanda politik at chaos dalam negerinya sendiri, mampu meredam isu tersebut hingga ke meja perundingan dalam upaya membentuk gerakan non-blok. Padahal kalau kita lihat, Soekarno pada saat itu juga sangat condong kea rah komunis. Partai komunis mendapat banyak ruang gerak di Negara republic Indonesia berkat Soekarno yang dinilai sangat percaya dengan partai komunis. Banyak protes yang prasangka-prasangka buruk akan Soekarno yang terlalu dekat dan memberikan ruang gerak kepada partai komunis dan kaum kiri lainnya. Meskipun demikian, Soekarno tetap bisa menjaga isu tersebut agar tidak keluar dan menjadi masalah yang berlebihan. Terlebih lagi dengan pihak Amerika yang juga ikut mendesak agar Indonesia jangan sampai jatuh ke tangan komunis. Isu-isu yang sangat sensitive ini mampu diredam oleh soekarno dengan menjadi salah satu penggagas gerakan non-blok ini. Untuk itulah Indonesia bisa selamat dari ancaman komunis ataupun kapitalis tersebut. kalau pun Indonesia sampai jatuh ke salah satu pihak entah komunis atau kapitalis, maka saya yakin gerakan non-blok itu bisa menimbulkan prasangka-prasangka akan setiran dari kepentingan-kepentingan salah satu pihak itu. Dan saya pikir hal tersebut sangat rumit namun disitulah justru saya menilai kehebatan Soekarno dalam menjaga stabilitas perdamaian dalam dan luar negeri Indonesia dengan gerakan non-blok ini. Dan kalau pun Indonesia sampai jatuh ke salah satu pihak (komunis atau kapitalis) maka akan terjadi perang hebat dalam tubuh Indonesia itu sendiri. Dan hal itu akan berakibat kepada gerakan non-blok ini. Dimana Indonesia selain dicurigai sebagai setiran dari salah satu blok, Indonesia juga akan sulit dalam melakukan sebuah hubungan diplomatic dengan Negara-negara yang baru saja merdeka dalam gerakan non-blok tersebut. apa yang menjadi tujuan Indonesia itu sendiri adalah mampu menjaga stabilitas perdamaian dan keamanan internasional dan regional serta semua Negara baik berideologi komunis ataupun kapitalis bisa bekerja sama dalam bidang apapun dan tetap damai.

G-77

Perkembangan Negara-negara selatan yang baru saja dikatakan merdeka itu tidak hanya bergerak dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional masing-masing Negara. Dalam gerakan non-blok Negara-negara selatan tersebut berupaya untuk menyalurkan aspirasi dan mendapatkan pengakuan secara internasional sebagai Negara-negara yang berdaulat. Namun focus dari gerakan non-blok itu masih terlalu kearah penentuan sikap Negara-negara tersebut agar tidak terpengaruh kepada perang dingin dan masih seputar kemanan nasionalnya masing-masing. Dalam G-77 ini Negara-negara tersebut berupaya membuat sebuah wadah dimana kepentingan ekonomi masing-masing Negara bisa tersalurkan. Karena dengan adanya kerjasama dalam bidang ekonomi sangatlah penting dalam membangun Negara-negara yang baru merdeka itu.

G77 didirikan pada 15 juni 1964 oleh 77 negara berkembang. Dengan pertemuan menteri-menteri dari grup 77 ini di Algeria pada 10-25 oktober 1967 dan mengadopsi Charter of Algeries sebagai pedoman umumnya. Meskipun dikemudian hari anggota dari G-77 ini bertambah menjadi 130 negara, nama G-77 tetap menjadi nama resmi karena faktor sejarah. Grup ini merupakan organisasi intergovernmental antar Negara-negara berkembang terebesar dalam PBB untuk mewadahi dan mempromosikan kepentingan ekonomi secara kolektif bagi Negara-negara selatan dan mengembangkan kapasitas negosiasi dengan issu ekonomi secara internasional dalam system PBB[4].

Selain issu keamanan dan perdamaian dunia, ekonomi lah salah satu high issues dalam hubungan internasional. Kenapa ? karena dengan perkembangan ekonomi di setiap Negara yang baru saja berkembang bisa membuat peningkatan pengaruh dalam dunia internasional itu sendiri. Namun jika sebuah Negara tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh di bawah rata-rata (miskin) maka hal tersebut membuat pengaruh buruk bagi negaranya untuk negosiasi dalam percaturan diplomasi internasional. Hal ini terbukti ketika india belum menjadi Negara maju, sangat jarang Negara-negara yang menginginkan kerjasama secara bilateral maupun multilateral kepada India. Namun ketika diketahui India sebagai Negara maju dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang signifikan maka banyak Negara-negara yang ingin bekerjasama dan berkompetisi dalam persaingan bebas di dunia internasional. Meskipun Negara itu mempunyai sumber daya alam yang berlimpah, namun apabila tingkat pertumbuhan ekonominya rendah maka jarang Negara-negara di dunia ini ingin mengajak untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi. Lain halnya dengan pengeksploitasian sumber daya alamnya. Bagaimanapun juga Negara-negara selatan haruslah memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata agar bisa terhindar dari pemanfaatan Negara-negara adidaya. Dan mungkin disinilah saya melihat kewaspadaan Negara-negara yang mempunyai sumber daya alam yang berlimpah namun pertumbuhan ekonominya lemah. Negara-negara seperti itu taku akan adanya pemanfaatan sepihak oleh Negara-negara yang mempunyai ide seperti itu. Maka dari itu dalam G-77 ini kekuatan pertahanan Negara-negara yang takut akan pengeksploitasian sumber daya alam dari Negara-negara tertentu diperkuat dengan adanya wadah yang memiliki tujuan bersama ini. Karena tanpa wadah ini, maka Negara-negara ini akan menjadi sasaran empuk bagi Negara-negara yang mempunyai tujuan sangat licik untuk menguntungkan sepihak.

G-77 dengan General Assembly PBB beserta komitekomite dan badan khusus PBB lainnya menghasilkan beberapa joint declarations, action programmes dan agreement on development issues, sebagai berikut[5] :

  • The Charter of Algiers, Algiers, 10 – 25 October 1967;
  • Lima Declaration, Lima, 25 October – 7 November 1971;
  • Manila Declaration, Manila, 26 January – 7 February 1975;
  • Report on the Conference on Economic Cooperation among Developing Countries, Mexico City, 13 – 22 September 1976;
  • Arusha Programme for Self-Reliance and Framework for Negotiations, Arusha, 12 – 16 February, 1979;
  • Communiqué on the Special Ministerial Meeting of the Group of 77, New York, 11 – 14 March 1980;
  • Report on the Ad Hoc Intergovernmental Group of 77 on Economic Cooperation among Developing Countries in Continuation of the Ministerial Meeting of the Group of 77, New York, March 1980, and Vienna, 3 – 7 June 1980;
  • Communiqué on the Special Ministerial Meeting of the Group of 77, New York, 21 – 22 August 1980;
  • The Caracas Programme of Action on ECDC, Caracas, 13 – 19 May 1981;
  • Ministerial Declaration on the Global System of Trade Preferences among Developing (GSTP), 8 October 1982;
  • The Buenos Aires Platform, Buenos Aires, 5 – 9 April 1983;
  • Declaration on the Global System of Trade Preferences (GSTP), New Delhi, July 1985;
  • Brasilia Declaration on the Launching of the First Round of Negotiations within the Global System of Trade Preferences among Developing Countries, Brasilia, 22 – 23 May 1986;
  • The Cairo Declaration on Economic Cooperation among Developing Countries (ECDC), Cairo, 18 – 23 August 1986;
  • Havana Declaration, Havana, 20 – 25 April, 1987;
  • Agreement on a Global System of Trade Preferences among Developing Countries (GSTP), Belgrade, 11 – 13 April 1988;
  • Twenty-fifth anniversary Ministerial Declaration (Caracas Declaration), Caracas, 13 – 23 June 1989;
  • Tehran Declaration, Tehran, 19 – 23 November 1991;
  • Tehran Declaration on the Second Round of the Global System of Trade Preferences among Developing Countries (GSTP), Tehran, 21 November 1991;
  • Recommendations and conclusions of the Group of Experts on the Review and Evaluation of the Implementation of the Caracas Programme of Action (New York, 5 – 9 August 1991);
  • Thirtieth Anniversary Ministerial Declaration, New York, 24 June 1994;
  • Ministerial Statement on “An Agenda for Development”1994;
  • Recommendations and conclusions of the Sectoral Review Meeting of the Group of 77 on Energy (Jakarta, Indonesia, 5 – 7 September 1995);
  • The Midrand Declaration, Midrand, 28 April 1996;
  • Recommendations and conclusions of the Sectoral Meeting on Food & Agriculture of the G-77 (Georgetown, Guyana, 15 – 19 January 1996);
  • The San Jose Declaration and Plan of Action on South-South Trade, Investment and Finance, San Jose, 13 – 15 January 1997;
  • The Bali Declaration and Plan of Action on High-level Meeting on Subregional and Regional Economic Integration, Bali, 2 – 5 December 1998;
  • Recommendations and conclusions of the High-level Advisory Meeting on the South Summit (Jakarta, Indonesia, 10 – 11 August 1998);
  • The Marrakech Declaration, Marrakech, 16 September 1999;
  • Final Report on the Group of 77 Meeting of Eminent Personalities to advise on the preparations for the First South Summit, Georgetown, 6 – 7 December 1999;
  • Declaration of the South Summit and the Havana Programme of Action, Havana, 10 – 14 April 2000;
  • Tehran Consensus adopted by IFCC-X, Tehran, 18 – 23 August 2001;
  • Declaration by the Group of 77 and China on the Fourth WTO Ministerial Conference at Doha, Qatar 9 – 14 November 2001;
  • Recommendations and conclusions of the Meeting of the High-level Advisory Group of Eminent Personalities and Intellectuals on Globalization and its Impact on Developing Countries: Agreed conclusions and recommendations (Geneva, 12 – 14 September 2001);
  • The Dubai Declaration for the Promotion of Science and Technology in the South, 27 – 30 October 2002;
  • Declaration by the Group of 77 and China on the Fifth WTO Ministerial Conference, Cancun, Mexico, 10 – 14 September 2003;
  • The Marrakech Declaration on South-South Cooperation and the Marrakech Framework of the Implementation of South-South Cooperation, Marrakech, 16 – 19 December 2003;
  • The Sao Paulo Declaration, Sao Paulo, 11 – 12 June 2004;
  • Fortieth Anniversary Ministerial Declaration, Sao Paulo, Brazil, 11 – 12 June 2004;
  • Recommendations and conclusions of the Ad-hoc Group on the Performance, Mandates and Operating Modalities of the G-77 Chamber of Commerce and Industry (G-77 CCI) (New York, 3 November and Doha, 3 – 4 December 2004);
  • Conclusions and recommendation on the Group of 77 High-level Forum on Trade and Investment, Doha, Qatar, 5 – 6 December 2004;
  • Recommendations and conclusions of the Open-ended Intergovernmental Study Group Workshop on the Trade and Development Bank (New York, 2 – 3 May 2005);
  • Doha Declaration and Doha Plan of Action of the Second G-77 South Summit (Doha, Qatar, 12 – 16 June 2005);

Saya beranggapan bahwa upaya Negara-negara selatan pada saat perang dingin hingga pasca perang dingin dalam kerjasama di segala bidang tidaklah sia-sia. Dengan adanya kerja sama tersebut, Negara-negara selatan mampu menjadi Negara-negara yang mandiri dikemudian hari tanpa harus ada campur tangan dari Negara-negara yang hanya menguntungkan sepihak.

Tulisan saya hanya sedikit menampilkan beberapa gerakan-gerakan atau kerjasama yang dilakukan oleh Negara-negara selatan khususnya Negara-negara yang baru saja merdeka pada saat itu.

Dyah Ayu Setya Purnamaningrum

Hubungan Internasional

209000129



[1] Wibisono, Makarim. Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Hlm. 157-160

[2] Ibid. hlm. 164-165.

[3] www.kompasiana.com

[4]www.g77.org

[5] Ibid.

1 komentar:

Travelling Through Times mengatakan...

Referensi sangat minim. Tidak ada kerangka teori yang melandasi analisa Anda?

10 Juni 2010 pukul 01.58

Posting Komentar