diplomasi publik di kawasan asia tenggara

Rabu, 02 Juni 2010 09.42 By diplomasi senin 1245

arief setiawan
205000024

Pendahuluan

Dewasa ini, aktivitas diplomasi telah meningkat pesat seiring dengan semakin beragamnya isu-isu dalam hubungan internasional. Hubungan Internasional tidak lagi dilihat sebagai hubungan antar negara, akan tetapi juga meliputi hubungan masyarakat Internasional.

Dengan demikian diplomasi tradisional, atau yang dikenal dengan istilah “First track Diplomacy”, yang hanya melibatan peran pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi. Tentu saja tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik akan sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional. Alasan utama keterlibatan publik ini didasarkan pada asumsi yang cukup sederhana, yaitu pemerintah tidak selalu dapat menjawab berbagai tantangan dalam isu-isu diplomasi yang kini semakin kompleks, terlebih lagi sifat khas yang melekat dari pemerintah adalah sangat kaku dan sarat dengan nuansa sistem birokratis yang rumit.

Melalui peningkatan aktivitas diplomasi publik, pemerintah berharap bahwa upaya diplomasi akan berjalan lebih efektif dan memberikan dampak yang lebih luas dan besar pada masyarakat internasional. Di samping itu, pemerintah pun berharap keterlibatan publik ini dapat membuka jalan bagi negosiasi yang dilakukan wakil-wakil pemerintah, sekaligus dapat memberikan masukan dan cara pandang yang berbeda dalam memandang suatu masalah.

Diplomasi publik didefinisikan sebagai upaya mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui understanding, informing, and influencing foreign audiences. Dengan kata lain, jika proses diplomasi tradisional dikembangkan melalui mekanisme government to government relations maka diplomasi publik lebih ditekankan pada government to people atau bahkan people to people relations. Tujuannya, agar masyarakat internasional mempunyai persepsi baik tentang suatu negara, sebagai landasan sosial bagi hubungan dan pencapaian kepentingan yang lebih luas .

Dalam hal ini organisasi regional yang terdapat di kawasan Asia Tenggara yakni ASEAN turut berperan aktif dalam menciptakan perdamaian di kawasan Asia tenggara. Realisasi pelaksanaan diplomasi publik menjadi penting dalam menjalin persaudaraan antarnegara didalam ASEAN. Peranan diplomasi publik dibutuhkan untuk memberikan citra positif terhadap politik luar negeri negara-negara ASEAN dalam praktek implementasi “ASEAN Way”. Visi inilah dikembangkan oleh elemen-elemen di ASEAN untuk memberikan gambaran kepada dunia. ASEAN, yang plural yang terdiri dari bermacam-macam : suku bangsa, golongan, dan agama, bisa hidup rukun berdampingan dalam membangun kebersamaan dalam ASEAN.

Citra positif terhadap gambaran mengenai kehidupan dinamika politik akan memberikan gambaran yang positif bagi dunia untuk meningkatkan kerja sama antarnegara. Fokus dialog bukan semata-mata hanya untuk saling memahami kebudayan yang berbeda. Lebih mendalam ialah terciptanya sebuah kepercayaan bahwa bangsa ASEAN memiliki potensi untuk mengembangkan kerja sama semua aspek politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Diplomasi publik mampu menjembatani segala perbedaan. Inilah yang penting dalam misi diplomasi publik mengembangkan sebuah cara berpikir, bertindak, berelasi untuk terus mengembangkan komunikasi antarnegara. Kultur komunikatif tampaknya dimiliki para staf diplomasi publik yang memiliki kemampuan untuk membaca peta politik global. Kemampuan ini pada akhirnya akan mendapatkan nilai tambah.

Dalam mengembangkan citra positif ini memerlukan perangkat implementasi diplomasi publik yang tepat pula agar tepat pada sasaran yang diharapkan sebagai solusi mengatasi perbedaan yang terdapat dalam berbagai negara-negara di ASEAN. Salah satu contoh penerapan diplomasi publik di kawasan intra ASEAN yang dapat kita lihat cukup berhasil ialah South East Asian Games (SEA Games). Sampai saat ini SEA Games telah terlaksana sebanyak 24 kali, yang terakhir tuan rumah perhelatan olahraga ini bertempat di Thailand, dengan kemenangan mayoritas diraih oleh Thailand itu sendiri sebagai tuan rumah acara dua tahunan ini.

Terlepas dari berapa jumlah medali yang diraih suatu negara, pertanyaan mengenai seberapa penting SEA Games bagi negara-negara di Asia Tenggara juga perlu diajukan. Sesudah diselenggarakan sebanyak duapuluh empat kali, sebenarnya apa manfaat yang didapat negara-negara Asia Tenggara dari ajang ini ? Inilah pertanyaan utama dalam makalah tugas akhir semester yang akan coba saya jawab. Mengingat ini merupakan kajian yang unik dan menarik untuk ditelaah.

Dalam konteks hubungan internasional, olahraga juga ternyata memiliki fungsi lain yang tidak kalah pentingnya: sarana berdiplomasi. Diplomasi olahraga beberapa kali terbukti mampu meredam konflik atau minimal mencairkan ketegangan antar negara yang tengah bertikai.

Pembahasan

"Semua bangsa di dunia ini mampu mengerti olahraga. Tua, muda, miskin, kaya dapat bersatu di lapangan dan berolahraga bersama. Banyak negara dan bangsa yang bertikai ternyata dapat bertanding dengan penuh sportivitas di lapangan,"

Mengapa olahraga dapat menjadi sarana penting untuk berdiplomasi? Karena sifat utama dari olahraga yang menjunjung tinggi sportivitas. Diplomasi olahraga juga memiliki empat tujuan utama yakni meredam konflik, mencairkan ketegangan, meningkatkan hubungan antar negara (bersahabat maupun tidak) dan memperkenalkan budaya. Sebagai contoh diplomasi olahraga dalam masalah ini ialah AS dan China tidak akan terlibat perang ideologis tatkala keduanya berjumpa dalam pertandingan tenis meja. Diplomasi olahraga dalam beragam bentuknya (diplomasi sepakbola, diplomasi tenis meja, diplomasi basket, dll) akhirnya makin banyak dipilih sebagai sarana untuk mempererat dan meningkatkan hubungan antar negara

Diplomasi olahraga merupakan turunan dari berbagai jenis dan bentuk dari diplomasi publik sebagai pokok utama dalam beragam praktek diplomasi. Diplomasi olahraga sendiri sampai saat ini belum, dan mungkin memang tidak perlu, didefinisikan secara terbatas. Beberapa tulisan ilimiah menggunakan istilah diplomasi olahraga (sport diplomacy, sports diplomacy, sporting diplomacy) untuk menjelaskan hal yang berbeda-beda pula. Aaron Beacom menggunakan istilah diplomasi olahraga untuk mendeskripsikan kegiatan-kegiatan diplomasi dan negosiasi yang dilakukan oleh organisasi internasional di bidang olahraga (Beacom, 2000). Diplomasi olahraga juga dapat dipakai untuk mengambarkan keikutsertaan kalangan olahraga seperti atlet dan pelatih dalam program-program diplomasi, disinilah letak inti dari diplomasi publik yang menempatkan atlet dan pelatih yang merupakan bagian dari masyarakat umum suatu negara. Secara tidak langsung mereka adalah aktor utama dalam melaksanakan diplomasi olahraga ini.

Disadari atau tidak, diplomasi olahraga bukan merupakan sebuah hal baru. Bulan April 1971, usai mengikuti kejuaraan dunia ke-31 di Jepang, tim tenis meja (ping-pong) Amerika Serikat (AS) mencatat sejarah karena menjadi warga AS pertama yang menjejakkan kaki di Beijing sejak partai komunis Mao berkuasa selama 22 tahun sejak tahun 1949. Pertandingan persahabatan tenis meja akhirnya digelar antara China dan AS atas inisiatif Mao yang kemudian dikenal dengan nama Diplomasi Pingpong. Dalam kunjungan ke China ini, sembilan atlet AS menyeberangi jembatan dari Hongkong ke daratan China dan menghabiskan waktu mereka dari tanggal 11 – 17 April 1971. Pada Februari 1972, Richard Nixon pun melakukan kunjungan bersejarah ke China. Dua bulan setelah kunjungan Nixon, ketua delegasi tenis meja China, Zhuang Zedong balas mengunjungi AS pada tanggal 12-30 April 1972. Sebuah manuver diplomasi yang berakhir dengan baik .

Keberhasilan diplomasi pingpong ini akhirnya memicu negara lain untuk melakukan dan mengembangkan diplomasi olahraga. Dikawasan Asia Tenggara sedikit berbeda dengan contoh ”diplomasi ping-pong” yang dilakukan AS yang memang dilakukan pada saat bertikai, dikawasan Asia Tenggara lebih cenderung dilakukan untuk mencapai kepentingan politik nasional, yaitu diplomasi olahraga akan dilihat sebagai upaya pencitraan negara-negara Asia Tenggara melalui kesediaannya menjadi tuan rumah dan keikutsertaannya di ajang SEA Games. Sebagaimana dikemukakan Victor D. Cha, di Asia Timur olahraga telah menjadi salah satu jalur yang penting untuk menunjukkan pembangunan di negara-negara Asia. Semua negara besar dan berkembang di Asia Timur telah dan akan menjadi tuan rumah even-even olahraga internasional untuk “mengekspresikan” kesiapan mereka bersaing di level global. Olimpiade Tokyo 1964, Olimpiade Seoul 1988, Piala Dunia Sepakbola 2002 di Korea dan Jepang, serta Olimpiade di Beijing tahun 2008 mendatang adalah cara negara-negara besar di Asia Timur ini untuk mempertegas citra negaranya sebagai negara maju. (Cha, 2002).

Lebih jelas lagi dalam kompetisi olahraga multi-cabang seperti SEA Games, pencitraan paling sukses didapat sebuah negara ketika mampu menjadi tuan rumah sekaligus mampu menjadi juara umum. Sukses menjadi tuan rumah mempertegas citra kemajuan suatu negara, karena untuk mengorganisir even ini diperlukan kesiapan dana, infrastruktur (misalnya jaringan transportasi dan komunikasi), sarana olahraga, dan organisasi yang baik. Sementara kesuksesan menjadi juara umum atau meraih target prestasi tertentu berarti pembinaan olahraga telah berjalan dengan baik. Pembinaan olahraga sendiri tidak dapat berjalan baik tanpa kondisi
perekonomian, pendidikan, dan kesehatan yang mendukung di dalam negeri.

Memang, cukup sulit untuk mengukur tingkat keberhasilan dari aktivitas diplomasi olahraga. Meskipun demikian, diplomasi olahraga dapat menjadi alternatif yang efektif selain diplomasi konvensional di meja perundingan. Diplomasi olahraga sebagai elemen dari diplomasi publik adakalanya dapat sekaligus menjadi sarana untuk memperkenalkan budaya khas. Menang-kalah terkadang tidak menjadi masalah. Yang penting, diplomasi tersebut mampu meredam konflik dan ketegangan serta membawa hubungan yang lebih erat. Di lapangan olahraga-lah kita semua dapat menikmati indahnya sportivitas. Tidak ada bom, tidak ada rudal, tidak ada pertarungan ideologis. Bisa dibayangkan tatanan hubungan internasional akan senantiasa damai.

Hal demikian tidak terlalu mengherankan karena memang masih sedikit atlet dari Asia Tenggara yang dapat dikategorikan atlet dunia. Selama ini masih banyak pengurus, pelatih, maupun atlet yang menganggap juara di SEA Games adalah sasaran utama, bukan sasaran antara untuk mengejar prestasi yang lebih baik di level Asia dan dunia. Kondisi ini samasekali tidak dibantu dengan penyelenggaran SEA Games yang selalu diwarnai kecurangan dari negara tuan rumah seperti wasit yang memihak, pengaturan undian yang tidak menguntungkan bagi negara rival, dan digelarnya cabang-cabang olahraga khas tuan rumah, yang di negara-negara lain pun kompetisinya masih minim, sebagai “tambang medali emas”. Hasilnya dalam sembilan penyelenggaraan SEA Games terakhir, enam kali kontingen tuan rumah mampu menjadi juara umum.

Selain soal prestasi olahraga, SEA Games juga diharapkan menjadi ajang untuk mempererat persahabatan antar negara ASEAN di level masyarakat dan mencitrakan kebersamaan ASEAN. Hanya saja, sudah duapuluh empat kali SEA Games berlangsung, rasanya masih tidak ada perkembangan. Hasil yang dibicarakan masih seputar siapa juara umumnya atau siapa tuan rumah berikutnya, masih seputar persaingan daripada persahabatan.

Hal ini merefleksikan ASEAN itu sendiri, seiring dengan perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional yang berjalan lambat. ASEAN Charter kini telah ditandatangani; dampaknya bagi olahraga di kawasan ini mungkin tidak akan terasa dalam waktu dekat. Tetapi dengan semakin majunya ASEAN sebagai organisasi regional, semoga di masa depan ada rumusan kompetisi olahraga regional yang lebih memancing atlet untuk berprestasi di level dunia; bukan sekedar persaingan negara-negara dalam membentuk citra. Jangan dilupakan juga bagian “mempererat persahabatan sebagai bagian dari masyarakat ASEAN”. Kalau kita bisa percaya akan hal itu, maka suatu saat akan tercapai.
"Betul olahraga bukan jawaban atas segala masalah. Akan tetapi, olahraga memiliki kewajiban sosial, mendorong upaya perdamaian, dan persaudaraan," Ingat apabila kita melihat kondisi internal ASEAN terkait dengan masalah perkembangan organisasi tersebut maka wajar apabila terlontar kata pesimis dengan mendorong kehidupan antar negara intra kawasan Asia Tenggara.

Disini SEA Games merupakan sebuah kesuksesan yang terpelihara dari masa ke masa hingga sampai saat ini. Semua orang di dunia butuh sarana untuk berolah raga, itulah jawabannya dengan adanya SEA Games dikawasan Asia Tenggara ini dapat mengakomodasi akan kebutuhan ini. Terlebih di kawasan tersebut memang sarat dengan keberagaman budaya. Dengan adanya persatuan olah raga maka segala perbedaan tersebut dapat dilebur kedalam pertandingan olahraga yang adil dan mengakomodir segala keperluan.

Proses diatas memiliki istilah khusus yaitu Accomodative Multiculturalism. Pendekatan terhadap keberagaman budaya ini adalah alternatif terhadap masalah keberagaman budaya di Asia Tenggara. Ini adalah masalah yang menjadi kepentingan nasional dan regional di wilayah regional ASEAN, dan sangat cocok apabila diadaptasi melalui diplomasi publik. Disini publik memainkan peran yang sangat strategis dalam mengupayakan proses akomodasi terhadap keberagaman budaya yang ada. Bermain dengan jujur dan sportif di segala arena olahraga yang ada bisa menjadi cerminan bermain diplomasi tersebut.

Kesimpulan

Globalisasi yang antara lain berdampak pada meningkatnya kesadaran identitas, menimbulkan suatu kebutuhan bersegera (urgent needs) bagi masyarakat Asia Tenggaraa untuk memiliki sebuah mekanisme penanganan yang tepat bagi permasalahan sosial yang mungkin timbul akibat pluralisme budaya yang ada dikawasan ini. Salah satu alternatifnya adalah kebijakan multikulturalturalisme yang wacana mulai berkembang sejak awal tahun 1970-an salah satu hasilnya adalah SEA Games tersebut. Pada dasarnya yang ditawarkan oleh pendekatan multikulturalisme, yaitu pengakuan terhadap keberagaman budaya dan penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan, sangat ideal untuk mengatasi pluralisme budaya, dimana pun. Hanya saja banyaknya literatur barat yang membahas pemikiran ini, telah memberikan bobot pengaruh liberalisme yang terlalu berlebihan pada ide ideal multikulturalisme, sehingga seolah-olah pemikiran ini identik denganliberal multikulturalisme, padahal sesungguhnya tidak harus demikian. Operasionalisasi dari underlying idea dari multikulturalisme dapat saja (dan memang seharusnya) bersifat kontekstual.
Sehingga kawasan Asia Tenggara sangat tidak cocok apabila menerapkan liberal multikulturalisme. Asia Tenggara harus memerhatikan nilai-nilai asia (ASEAN Ways) yang memang tidak cocok apabila memakai aturan barat dalam segala aspeknya. ASEAN harus memakai nilai-nilainya sendiri yang ditaati oleh berbagai negara-negara didalamnya. Oleh karena itu diplomasi publik memang harus dikedepankan dalam ASEAN .





1. Jurnal Politik Internasional, Global. Dinamika Fenomena Hubungan Internasional Pasca Neo Liberal, Vol. 9. No. 2 Desember 2007- Mei 2008.Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia.
2. Banyu Perwita, DR. Anak Agung, Mochamad Yani. DR. Yanyan.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Rosda, Bandung 2005.
3. www.kompas.com
4. www.suarapembaruan.com













1 komentar:

Travelling Through Times mengatakan...

Interesting article. Saya tidak menemukan referensi dalam tulisan kamu? Tidak ada kerangka teori yang dijadikan landasaan bagi kamju untuk menganalisa fakta dari fenomena yang kamu gunakan?

10 Juni 2010 pukul 01.21

Posting Komentar