DIPLOMASI ANTARA COSTA RICA-NIKARAGUA MENGENAI PERSELISIHAN PERBATASAN SUNGAI SAN JUAN

Rabu, 02 Juni 2010 22.59 By diplomasi senin 1245

DIPLOMASI ANTARA COSTA RICA-NIKARAGUA MENGENAI PERSELISIHAN PERBATASAN SUNGAI SAN JUAN

(oleh: Fenny Ferdiana Putri)

209000358

I. PENDAHULUAN

San Juan River merupakan sungai yang mengalir dari Danau Nikaragua sampai ke Laut Karibia. Sebagian besar wilayah sungai merupakan perbatasan antara Kosta Rika dengan Nikaragua. Sebelum adanya Terusan Panama, Sungai San Juan sering digunakan untuk jalur transportasi. Banyak penduduk Afrika yang menggunakan sungai ini untuk berlayar dari Atlantik hingga Samudera Pasifik. Pada masa California Gold Rush banyak orang dari seluruh dunia menggunakan jalur sungai ini menuju California untuk mencari tambang emas. Sungai San Juan tidak hanya sebagai jalur lalu lintas kapal-kapal komersial tetapi sungai ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah dan banyak memiliki berbagai jenis kehidupan laut.

Namun, Sungai San Juan menjadi sengketa utama antara Kosta Rika dengan Nikaragua karena sengketa ini sudah terjadi lebih dari satu abad. Sehingga menimbulkan perselisihan hubungan diplomatik diantara kedua negara. Konflik ini menjadi konflik yang berat bagi wilayah Amerika tengah karena telah menimbulkan ambiguitas hak navigasi dengan kontroversi politik di ibukota kedua negara.

II. LATAR BELAKANG

Konflik antara Kosta Rika dengan Nikaragua disebabkan karena adanya perselisihan mengenai perbatasan oleh kedua negara karena kedua negara mengakui adanya kedaulatan untuk Sungai San Juan. Terdapat beberapa latar belakang utama yang memicu timbulnya konflik. Pertama, Banyak yang mengenal wilayah Amerika Tengah sejak kemerdekaanya dari Spanyol sebagai daerah yang sering terjadi konflik. Kedua, Adanya imigrasi ilegal dari Nikaragua secara besar-besaran yang terjadi ke wilayah Kosta Rika, sehingga mempertajam hubungan diplomatik dikedua negara. Ketiga, Kosta Rika menginginkan akses bebas untuk melalui jalur Sungai San Juan namun tidak dapat mencapai kesepakatan akhir karena adanya permusuhan politik yang terjadi di ibukota kedua negara. Ketiga hal tersebut dapat menjadi salah satu kontribusi pemicu konflik dan menimbulkan ketegangan konflik terus memanas antara kedua negara. Sehingga, menyebabkan Sungai San Juan menjadi sengketa yang tidak terselesaikan.

Walaupun negara-negara di wilayah Amerika Tengah memiliki kesamaan regional, namun sejak era-pasca colonial mengakibatkan banyaknya timbul permasalahan teritorial, khusunya sengketa perbatasan antar negara di wilayah Amerika Tengah. Seperti halnya sengketa teritorial yang terjadi antara Guatemela dan Honduras meliputi Sungai Motagua dan Pegunungan Merendon, El Salvador dan Honduras juga mengalami sengketa perbatasan yang meliputi demerkasi sepanjang timur laut dan tenggara pada masing-masing negara bagian, Honduras dan Nikaragua yang memiliki sengketa teritorial yang meliputi batas-batas dari Sungai Teotecacinte ke Samudera Atlantik, kemudian sengketa perbatasan yang terjadi pada Kosta Rika dengan Nikaragua mengenai Sungai San Juan yang tentunya akan menjadi topic permasalahan dalam tulisan ini.

III. PEMBAHASAN

III.a. MUNCULNYA DAERAH SENGKETA SUNGAI SAN JUAN.

Sengketa yang terjadi diantara Kosta Rika dengan Nikaragua terjadi sejak kemerdekaannya dari Spanyol pada tahun 1821 dan terus berlanjut hingga ke awal abad 20 (Hudson, M.1932, hal 759). Dalam tahap awal pembentukan Uni Amerika Tengah, Kosta Rica telah mendapatkan wilayah Nicoya dan Guanacaste yang sebelumnya wilayah ini dimiliki oleh Nikaragua (Zamora, A.1995, hal 235). Namun peralihan daerah tersebut tidak mencapai kesepakatan karena adanya isu-isu penting yang harus dipertimbangkan, seperti : jarak wilayah yang besar, sulitnya komunikasi, dan ada beberapa tekanan yang menyebabkan keadaan pada saat itu menjadi kritis (Hudson, M.1932, hal 760). Sehingga, Pemerintahan Pusat Amerika mengambil keputusan agar permasalahan peralihan wilayah tersebut ditutup sementara waktu. Namun, pada akhirnya Nikaragua tetap kehilangan sebagian tanah mereka kepada Kosta Rika. Daerah Guanacaste dan Nicoya telah menjadi bagian permanen dari Kosta Rika. Oleh karena itu, Nikaragua terpaksa harus kehilangan 13.000 km2 wilayahnya (Orozco, hal 142).

III.b. PERJANJIAN CANAS-JERES SEBAGAI LANGKAH PENYELESAIAN, NAMUN SENGKETA TAK KUNJUNG USAI.

Pada 1858, Kosta Rika dan Nikaragua menandatangani Perjanjian Canas-Jeres yang mengatur batas alam antara kedua negara. Sementara Nikaragua memperoleh kedaulatan atas San Juan River dengan perjanjian bahwa Kosta Rika diberikan hak navigasi .Menurut perjanjian, Hak navigasi yang dimaksud yaitu Nikaragua tidak akan mampu mewujudkan proyek kanal lintas-samudera tanpa konsultasi Kosta Rika. Perjanjian ini diprediksikan akan membuat ketegangan dalam sengketa perbatasan antara kedua negara terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya.

III.c. ADANYA PROYEK KANAL LINTAS-SAMUDRA

Selama abad ke-19 negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris sedang meneliti kemungkinan rute untuk kanal yang akan memotong melalui Amerika Tengah. Rute yang paling cocok adalah San Juan River. Oleh karen itu, pada tahun 1913 Nikaragua menandatangani kesepakatan dan kerja sama dengan Amerika Serikat untuk memulai proyek trans-kanal laut. Kanal tersebut akan diberikan akses oleh Nikaragua untuk transit lebih murah. Hal tersebut menyebabkan perselisihan yang terjadi antara Nikaragua dan Kosta Rika kembali berlanjut. Kosta Rika sangat mengutuk keputusan yang dilakukan oleh Nikaragua dikarenakan proyek kanal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap wilayah pantainya, serta dalam proyek ini hak-hak yang dimiliki Kosta Rika diabaikan karena Kosta Rika memiliki hak navigasi (Evans, 1997, hal 75). Nikaragua telah mengklain kedaulatan individu atas keseluruhan Sungai San Juan, padahal Kosta Rika memiliki hak kedaulatan yang sama terhadap keseluruhan sungai tersebut. Dalam Perjanjian Canas-Jerez telah menyajikan penyelesain sengketa antara Nikaragua dengan Kosta Rika. Perselisihan semakin memanas karena pada tahun 1998, Nikaragua mencegah patroli penjaga sipil bersenjata dari Costa Rica di sepanjang sungai.

III.d. IMIGRAN ILEGAL NIKARAGUA KE COSTA RICA

Isu berikutnya yang makin memperburuk hubungan Kosta Rika dengan Nikaragua yaitu mengenai imigran illegal melalui Jalur Sungai San Juan dari Nikaragua ke Kosta Rika. Ada banyak faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya warga sipil Nikaragua merupakan imigran illegal ke Kosta Rika. Pertama, Sejak tahun 1980-an terjadi perang saudara yang dilakukan oleh warga sipil di Nikaragua. Oleh karena itu, demi keamanan dan keselamatannya dari perang tersebut, warga-warga sipil di Nikaragua mencoba melarikan diri melalui Sungai San Juan ke Kosta Rika dengan status imigran illegal. Kedua, Terdapat lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di Kosta Rika dibandingkan Nikaragua karena Kosta Rika merupakan negara yang lebih maju secara perekonomian maupun gaya hidup di Kosta Rika dibandingkan Nikaragua. Sehingga, Kosta Rika dianggap surga bagi imigran-imigran illegal dari Nikaragua. Tidak hanya itu, Kosta Rika mendirikan tempat penampungan bagi pengungsi-pengungsi dari Nikaragua. Dalam hal ini, Kosta Rika diistilahkan sebagai “Switzerland of Central Amerika” oleh Lerardo Morning Times karena kekayaan yang dimiliki negara tersebut. Dan selanjutnya menghasilkan perselisihan antara kedua negara. Ketiga, perbatasan antara kedua negara yang berbeda tipis dan ditambah apabila merupakan daerah terpencil yang jauh dari pengawasan dan pengamanan dari pemerintah karena daerah tersebut sulit dijangkau, khususnya pada daerah perbatasan utara. Sehingga, merupakan kontribusi akses yang mudah untuk imigran Nikaragua. Berdasarkan dengan data yang telah didapat : “In 2000, 40% of the Nicaraguan immigrants were between 15-29 years of age” (Mok,Bixby,Camacho, Solis., 2000, p.1); “Illegal entry was simple because Costa Rica lacked the Catatan Illegal resources to effectively control that frontier” (Wiley, J. 1995, p. 426).

III.e. LARANGAN PENEMPATAN PATROLI KEAMANAN

COSTA RICA DI SEPANJANG SUNGAI SAN JUAN

Terdapat isu lainnya yang berhubungan dengan ketiga faktor yang berhubungan dengan permasalahan imigran illegal Nikaragua, sehingga makin membuat perselisihan semakin meruncing, yaitu pada masa tahun 1980-an Perang Saudara yang terjadi di Nikaragua membuat warga sipil Kosta Rika di sepanjang Sungai San Juan menjadi khawatir mengenai keamanan daerah tersebut. Sehingga, pemerintah Kosta Rika menempatkan petugas-petugas keamanan bersenjata di sepanjang sungai. Nikaragua menganggap hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran kedaulatan serta Managua mengklaim tindakan Kosta Rika tersebut bahwa Kosta Rika hanya memiliki hak navigasi di Sepanjang Sungai dan tidak memiliki hak untuk menempatkan petugas keamanannya disana.

Dengan adanya larangan dari Nikaragua terhadap Kosta Rika untuk memiliki patroli bersenjata di sepanjang sungai pada tahun 1998, masalah persengketaan antara kedua negara memasuki fase yang lebih sengit. Kosta Rika mengancam akan membawa sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional. Serta adanya permukiman yang tumbuh di sepanjang sungai akan membuat solusi menjadi lebih rumit. Hal tersebut dikarenakan permasalah keamanan seperti perdagangan narkoba dan senjata, serta imigrasi ilegal tentunya memperburuk sengketa perbatasan yang terjadi di kedua negara tersebut. Dendam dari permasalahan masa lalu hanya akan memberikan kontribusi lebih lanjut untuk membuat solusi yang lebih sulit.

III.f. INTERPRETASI HAK NAVIGASI YANG DIMILIKI COSTA RICA.

Perselisihan di kedua negara semakin rumit dan tak ujung usai dikarenakan adanya interpretasi hak navigasi Kosta Rika di Sungai San Juan. Padahal sebelumnya kedua negara sudah merancancang perjanjian Canas-Jerez yang akan menentukan demarkasi terakhir mereka. Namun, terdapat ambiguitas terhadap pasal-pasal yang sudah dirancang lam perjanjian tersebut. Sehingga menimbulkan kesalah pahaman yang berujung perselisihan mengenai hak atas daerah sengketa dari San Juan River. Terdapat dua pasal yang mengalami ambiguitas yang sebab itu membuat penafsiran yang salah.

Pertama, terdapat pada Pasal VI Perjanjian Canas-Jerez, dinyatakan sebagai berikut:

The republic of Nicaragua shall have exclusive dominion and the highest sovereignty over the water of the San Juan River from their issue out of the lake to their discharge into the Atlantic; but the republic of Costa Rica shall have in thus water perpetual rights of free navigation from the said mouth of the river up to a point three English miles below Castillo Viejo (Old Castle), for purpose of commerce, whether with Nicaragua or with the interior of Costa Rica, over the commerce, San Carlos or Sarapiqui Rivers or any other course stating from the part which has San Carlos been established as belonging to that republic on the banks of San Juan. The vessels of either country may touch at any part of the banks of the river where the navigation is common without paying any dues except as may be established by agreement between the two governments”. (Costa Rica v. Nicaragua, 1917,p. 193)

Pada Pasal diatas terasa ambigu, karena walaupun Nikaragua dianggap sebagai pemilik sungai, namun costa rica mendapatkan hak abadi atas perairan yang sama.

Kedua, Pasal VIII yang memperjelas keadaan menjadi lebih buruk, dinyatakan sebagai berikut :

“If the contracts for canalization or transit entered into before the Nicaraguan government had knowledge of this convention should for any cause cease to be in force, Nicaragua agrees not to conclude any other relating to the objects above stated without first hearing the opinion of the Costa Rica Government respecting the disadvantages that may result to the two countries provided that opinion be given within thirty days after the request therefore shall have been received incase that the Nicaraguan government should indicate that a decision is urgent. And in the event that the enterprise should cause no injury to the natural rights of Costa Rica that opinion shall be advisory”. (Costa Rica v. Nicaragua, 1917, p.194)

Berdasarkan pernyataan pasal diatas timbul ketegangan antara kedua negara. Perjanjian tersebut ditafsirkan bahwa pemilik satu-satunya penguasa daerah Sungai San Juan adalah Nikaragua, tetapi disisi lain Kosta Rika juga merasa memiliki kepemilikan atas sungai yang sama.

III.g. KETEGANGAN DI ANTARA KEDUA NEGARA TERUS BERLANJUT

Diberlakukannya Perjanjian Canas-Jerez menjadi suatu masalah besar terhadap Nikaragua dikarenakan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tahun 1800-an banyak negara asing menjelajahi negara-negara lainnya mungkin akanlebih mudah dan cepat apabila adanya sebuah kanal lintas-samudra melalui Sungai San Juan. Oleh karena itu, Nikaragua menawarkan transportasi murah, iklim sehat, dan luasnya sumber daya (Clayton, 1987, hal 330). Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris bercita-cita akan memotong jalur air melalui "Amerika Tengah", akibatnya Nikaragua menerima banyak tawaran dari pengusaha ambisius yang ingin mengembangkan proyek tersebut rencana Nikaragua untuk menghidupkan Sungai San Juan menjadi kanal karena akan menimbulkan dampak terhadap sisi pantai Kosta Rika.

Pada tahun 1871, Nikaragua dan Kosta Rika membuka kembali sengketa yang telah lama terjadi dan berharap ambisius Nikaragua terhadap proyek kanal tersebut sudah merada. Namun sebaliknya, Perselisihan semakin sengit karena perbedaan pandangan terhadap proyek kanal tersebut memecah hubungan diplomatik antara Kosta Rika dan Nikaragua atas interpretasi dalam Perjanjian Cañas-Jerez. Kemudian, kedua negara memutuskan untuk mencari arbitrase yang akan menjelaskan Pasal VI dan VIII dari perjanjian Cañas-Jerez. Arbitrase diperlukan untuk memperjelas kedaulatannya atas Sungai San Juan.

Namun, karena adanya permusuhan politik yang ada di antara kedua ibu kota tersebut, maka semakin mempersulit terjadinya penyelesaian akhir sengketa. Setelah serangkaian perjanjian dan arbitrase perbatasan antara kedua negara terus menjadi perhatian kedua negara.

Konflik bukan hanya didasari permasalahan perebutan wilayah Sungai San Juan, tetapi juga mengenai hal harga diri yang dimiliki kedua negara. Kosta Rika tidak ingin untuk mengakui adanya proyek kanal yang dibuat oleh Nikaragua ditambah dengan permusuhan di antara kedua negara yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Pada tahun 1998, mantan Presiden, Arnoldo Aleman, masalah serius yang harus ditangani adalah daerah sengketa Sungai San Juan. Sebelumnya, pada tahun 1997, militer Nikaragua merebut 12 kapal Kosta Rika serta menangkap 22 nelayan yang berada dalam kapal tersebut. Ketika Kosta Rika mendengar kabar tersebut, secara serius menanggapi peristiwa tersebut dan melakukan catatan diplomatic bahwa memprotes peristiwa yang dilakukan oleh militer Nikaragua. Tentunya peristiwa tersebut, kembali menegangkan perselisihan yang terjadi untuk mengembalikan kapal-kapal serta nelayan-nelayan dari Costa Rica.

III.h. RESOLUSI

Berbagai langkah telah dicoba dalam langkah untuk mencapai penyelesaian. Namun, ketika akan tercapai penyelesaian akhir selalu saja di antara kedua negara kembali menarik atau mengabaikan perjanjian yang telah disepakati.

Ketika kedua negara mencoba untuk melakukian negosisasi untuk menghadapi situasi konflik yang mereka hadapi, masing-masing pemerintahan kedua negara untuk menekankan kekuatan mereka di berbagai pihak. Sebagai contoh, Pemerintah Nikaragua menekankan kemampuan untuk mobilisasi pasukan ke perbatasan, mempertahankan jumlah militer yang ada untuk mempersiapkan diri sebelum terjadinya penyerangan. Militer Nikaragua menegaskan bahwa penempatan pasukan di perbatasan dilakukan untuk menangkap kapal-kapal asing yang melewati jalur Sungai San Juan. Sebagai perlawanan dari Costa Rica secara diplomatic resmi, pemerintah Costa Rica menuntut ganti rugi pembayaran untuk peminjaman tenaga listrik oleh Nikaragua sebesar $475,000,000.

Perlawanan demi perlawana terus dilakukan oleh kedua negara untuk mendapatkan national interests yang dimiliki masing-masing kedua negara. Namun pada tahun 2000, Situasi daerah sengketa Sungai San Juan mulai reda dan tenang antara kedua belah pihak. Sehingga langkah-langkah yang berbeda untuk mengatasi konflik yang terjadi mulai muncul kepermukaan. Misalnya, untuk penyelesaian konflik tersebut mencoba dengan cara Diplomasi Track II, yaitu pertukaran warga untuk membantu negara-negara yang saling bertentangan melalui pelatihan, mentoring dan mengembangkan jaringan. Diharapkan dengan menggunakan Diplomacy Track II ini dapat meredam konflik yang terjadi dikedua negara tersebut pada saat itu.

Pada tahun 2001 Nikaragua dan Kosta Rika kembali melakukan perundingan melalui mediasi dengan perantara pihak ketiga. Namun, perundingan tersebut gagal mencapai kesepakatan kembali. Sehingga Kosta Rika merasa perlu membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional.

Pada tahun 2005, Kosta Rika membawa Sengketa ini ke Mahkamah Internasional tentang hak-hak navigasi pada San Juan River. Kemudian pada tanggal 13 Juli 2009, Mahkamah internasional mengeluarkan keputusan bahwa Perjanjian 1858 telah cukup jelas menentukan hak navigasi yang dimiliki Kosta Rika terhadap San Juan River. Namun, dalam hak navigasi yang dimiliki oleh kosta rika terdapat beberapa ketentuan, antara lain :

* Kosta rika bertanggung jawab atas kehidupan warga-warga kosta rikadi sepanjang sungai.

*Kosta Rika memiliki hak navigasi yang bertujuan untuk sarana transportasi pada jalur San Juan River.

*Kapal-kapal Kosta Rika diberbolehkan untuk berlayar diatas Sungai San Juan dan tidak memerlukan visa Nikaragua untuk melakukan pelayaran.

*Kapal-kapal Kosta Rika yang bertujuan untuk melaksanakan tugas kepolisiantidak memiliki hak navigasi.

*Nikaragua memiliki hak untuk mengatur hak navigasi atas San Juan River, namun harus sesuai dengan perjanjian dan adanya ketentuan hukum yang jelas dalam pengaturan tersebut.


Pengantar Diplomasi (Amelia - 207.000.253)

21.51 By diplomasi senin 1245


 

USAHA NEGOSIASI DAMAI PEMERINTAH SRILANKA DENGAN KELOMPOK SEPARATIS MACAN TAMIL

(1993-2008)

 

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2010

MATA KULIAH: PENGANTAR DIPLOMASI

Dosen : Shiskha Prabawaningtyas, M.A.

 

 

 

AMELIA ZANETA

207 000 253

 

 

 

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

2010

I. PENDAHULUAN

 

 

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pasca perang dingin dunia dihadapkan pada pergeseran mengenai pola sistem internasional mengenai konflik. Sebelum perang dingin selesai, dunia diwarnai dengan  konflik antar negara (inter state conflict), namun setelah perang dingin, dunia mengalami pergeseran pola konflik. Dunia diwarnai dengan konflik internal (intra state conflict). Faktor-faktor yang melatarbelakangi konflik internal adalah faktor kultural, krisis pemerintahan bahkan faktor yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Konflik internal dapat membawa dampak yang cukup luas baik itu berupa kerusakan lingkungan,stabilitas kawasan yang dapat terganggu, dan terkucilkannya suatu negara di mata dunia internasional, bahkan dapat memakan korban jiwa. Menurut survei yang dilakukan UNICEF, korban yang ditimbulkan akibat perang dunia I yang berasal dari penduduk sipil sebesar 5%, pada perang dunia II meningkat hingga 50%, sementara pada akhir abad ini angka korban sipil mencapai sekitar  80%.[1]  Perkembangan masalah atau konflik yang dihadapi oleh negara-negara pada abad ke-20 tepatnya pasca perang dingin juga telah berkembang. Tidak hanya mengenai isu politik dan militer saja, tetapi juga berkembang menjadi isu ekonomi, hak asasi manusia, kemiskinan, dan lingkungan.

            Srilanka merupakan salah satu negara yang masih mengalami krisis konflik etnis. Konflik tersebut telah ada sejak tahun 1976, antara etnis mayoritas, Sinhala (74% populasi) dengan etnis minoritas Tamil (18% populasi) dan umat muslim Srilanka (6%). Pemicu awal dari konflik ini ialah ketika pada tahun 1818, Inggris sebagai negara penjajah Srilanka (dulu bernama Ceylon), mendatangkan tokoh-tokoh intelektual dan cendikiawan suku Tamil dari India Selatan untuk di pekerjakan di berbagai sektor pemerintahan dan pertanaian di Srilanka. Kebanyakan dari pekerja Tamil ini di tempatkan pada posisi-posisi yang penting. Namun setelah Srilanka memperoleh kemerdekaan, mulai muncul rasa kecemburuan sosial terhadap suku Tamil. Dalam pemilu-pun suku Tamil tidak pernah memenangkan suara.

            Pada tahun 1953, Bandaranaike, mantan anggota Partai UNP (United National Party), membentuk partainya sendiri yang bernama Sri Lanka Freedom Party, dan mengikuti pemilu. Ketika akhirnya partai ini menang, ia memberlakukan kebijakan ‘Sinhala Only Act’ yang isinya penggunaan bahasa Sinhala sebagai bahasa resmi negara. Bangsa Tamil boleh tetap menggunakan bahasanya di wilayah mereka, namun dalam institusi mereka harus menggunakan bahasa Sinhala. Kebijakan ini pada akhirnya mengarah pada serangkaian diskriminasi yang dirasakan oleh bangsa Tamil, seperti pendiskriminasian dalam hak-hak bermasyarakat; tidak diakuinya hak milik tanah bangsa Tamil yang sifatnya turun temurun, atau diskriminasi dalam bentuk pekerjaan adalah susahnya dalam kenaikan jabatan atau promosi. Sedangkan diskriminasi dalam bidang pendidikan ialah standarisasi nilai agar dapat diterima di universitas. Murid-murid Tamil harus memperoleh nilai-nilai yang lebih tinggi dari murid-murid Sinhala. Meskipun pada akhirnya siswa-siswa Tamil memang selalu berhasil di terima di perguruan tinggi dan kebanyakan dari mereka diterima di bidang studi yang paling banyak diminati, seperti kedokteran.

            Kebijakan-kebijakan pemerintah yang seperti ini akhirnya membuat para pemuda Tamil membentuk organisasi pemuda yang berfungsi sebagai pemenuhan aspirasi etnis Tamil melalui jalur politik. Contoh dari organisasinya ialah seperti; Eelam National Liberation Font, People’s Liberation Organization of Tamil Eelam, Liberation of Tamil Tigers Eelam, Tamil United Liberation Front, dan Eelam Revolutionary Organisation of Students. Dari beberapa organisasi diatas, Liberation of Tamil Tigers Eelam (LTTE) adalah organisasi yang paling keras. Organisasi pemuda yang dipimpin oleh Vellupillai Prabakharan ini sering kali menggunakan kekerasan, seperti penggunaan senjata untuk memisahkan Srilanka bagian Utara dan Timur Srilanka (wilayah yang paling banyak ditempati oleh bangsa Tamil) dan mendirikan negaranya sendiri.


[1] Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah konflik, Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, (Jakarta: Rajawali Pers,2002), hal.47

B. RUMUSAN MASALAH

Chriss Mitchell mendefiisikan konflik sebagai suatu hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Setelah masa Perang Dunia berakhir, Samuel Huntington meramalkan bahwa pada dekade 1990-an ruang lingkup konflik akan menciut dari konflik antarnegara (inter-state conflict) menjadi konflik internal di dalam suatu wilayah negara yang bersifat lokal dan regional (intra-state conflict).

            Faktor-faktor yang melatarbelakangi konflik internal adalah faktor kultural, krisis pemerintahan bahkan faktor yang di latarbelakangi etnis dan agama. Konflik internal dapat membawa dampak yang cukup luas baik itu berupa kerusakan lingkungan, stabilitas kawasan yang dapat terganggu, dan terkucilkannya suatu negara di mata dunia internasional, bahkan dapat memakan korban jiwa.

            Kumar Rupesinghe membagi tipe konflik di Asia Selatan kedalam enam kategori:[2]

1. Konflik Ideologi

Merupakan suatu konflik yang terjadi karena adanya pertentangan paham ideologi/politik antar dua atau lebih kelompok. Pada umumnya, pertentangan ideologi politik terjadi antar ideologi sosialis dengan ideologi kapitalis.

Jika kita melihat pada situasi saat ini, salah satu contoh konflik ideologis adalah di India antara suku bangsa Assam dan Naga mengenai ideologi Sosialisme dan Maoisme.

2. Konflik Identitas/etnis

Konflik etnis seringkali menjadi sumber utama dari terjadinya konflik-konflik di dunia. Salah satu penyebab munculnya konflik etnis ialah ketika suatu kelompok minoritas dalam suatu negara berusaha untuk memisahkan diri dari pemerintahan. Salah satu contohnya ialah suku Pashtun di Pakistan atau Tamil di Srilanka.

[2] Kumar Rupesinghe, Khawar Mumtaz, Internal Conflicts in South Asia, London: Sage Publications, 1996), hal.173-176


3. Konflik Agama dan fundamentalisme

Agama juga seringkali menjadi alasan terjadinya konflik internal. Karena agama masih merupakan suatu bentuk identitas bagi masyarakat,

4. Konflik antar negara

Konflik antar negara seringkali terjadi di negara-negara yang posisinya masih berdekatan. Konflik seringkali terjadi ketika berhubungan dengan masalah wilayah, sumber daya alam, dan perbatasan. Contoh konfliknya ialah seperti yang terjadi antara India dan Pakistan dalam memperebutkan wilayah Kashmir. Wilayah Kashmir ini memiliki keunggulan dalam sumber daya alamnya. India dan Pakistan sama-sama mengakui bahwa wilayah ini merupakan bagian dari wilayah mereka. Konflik ini telah memakan korban yang banyak dan perebutan wilayah ini masih terjadi sampai saat ini.

5. Konflik melawan pemerintah/penguasa

Konflik antara masyarakat dan pemerintah ini seringkali terjadi karena pembagian kekuasaan atau kewenangan masyarakat dalam pemerintahan (desentaralisasi). Umumnya masyarakat berkonflik dengan pemerintah ketika masyarakat menginginkan porsi politik yang lebih besar dalam suatu negara atau ketika proses demokrasi tidak berjalan dengan baik.

6. Konflik Militerisme/kekerasan

Konflik yang berujung pada kekerasan seringkali terjadi karena pemerintah menggunakan kemampuan militernya untuk tetap dapat mengendalikan situasi di masyarakat atau mempertahankan kekuasaannya. Dalam beberapa konflik kekerasan yang terjadi di wilayah Asia Selatan, konflik seringkali dipicu oleh masalah-masalah pengabaian hak-hak rakyat, diskriminasi etnis, dan kondisi perekonomian yang menurun.

Konflik kekerasan juga seringkali terjadi dibawah pemerintahan militer. Namun saat ini di negara yang menganut faham demokratis dan dipimpin oleh sipil sekalipun, konflik kekerasan dan militerisme masih tetap terjadi.

Bentuknya kekerasannya ialah seperti penculikan, pembunuhan/penghilangan orang.

 

II. PEMBAHASAN

 

A. Usaha Negosiasi Damai Srilanka - Macan Tamil

            Konflik Srilanka merupakan salah satu konflik etnis yang mengalami masa pasang surut yang cukup lama. Korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak pun tidak sedikit. Baik dari Tamil maupun dari pemerintahan seringkali mendapat kecaman dari negara-negara lain dan organisasi internasional yang concern pada hak-hak asasi manusia.

            Konflik bersenjata pertama yang terjadi antara pemerintah dengan LTTE adalah pada tanggal 1983. Kejadian ini berawal ketika diserangnya para demostran anti Tamil oleh LTTE. Akibatnya 16 orang Sinhala tewas dalam kejadian itu. Beberapa hari kemudian, etnis Sinhala membalasnya dengan membunuh tiga ribu orang etnis Tamil. Peristiwa ini disebut sebagai insiden Black July. Sejak saat itu, pemerintah mengirimkan tentaranya untuk berjaga di wilayah Utara dan Timur Sri lanka untuk menghindari terjadinya kejadian serupa. Namun pengiriman pasukan tersebut malah memicu terjadinya kekerasan bersenjata kepada etnis Tamil, dan seringkali pelaku kekerasannya adalah tentara itu sendiri.

            Dalam setiap pergantian presiden, usaha untuk mendamaikan kedua etnis ini selalu menjadi agenda pada setiap calon, namun tidak banyak yang berhasil diimplementasikan. Contohnya, Presiden R. Premadasa yang berhasil menjalin kerjasama dengan tentara Tamil ketika akan mengusir Tentara Indian Peace Keeping Force di wilayah Utara dan Timur Srilanka. Setelah itu kedua belah pihak menghentikan permusuhan namun tanpa adanya kesepakatan mengenai gencatan senjata. Kemudian Presiden D.B. Wijetungga naik dan mencoba melanjutkan usaha perdamaian, namun tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Pihak LTTE yang merasa tidak puas, menarik diri dan menghancurkan kapal-kapal laut Sri Lanka.

            Situasi antara LTTE dan pemerintahan mulai menunjukkan perubahan di tahun 2001. Pengeboman WTC di Amerika Serikat memicu timbulnya euforia anti terorisme di seluruh dunia. Amerika Serikat meminta kepada negara-negara di dunia untuk bekerjasama melawan teroris di negaranya masing-masing.

            Wacana mengenai teorisme inilah yang merubah peta konflik antara pemerintah dengan LTTE. Pihak LTTE tidak ingin mendapat label teroris karena semua tindakannya dalam melawan pemerintahan. Karena itulah pada tahun 2001, LTTE menawarkan upaya perdamaian melalui gencatan senjata. Tawaran ini kemudian disetujui oleh Perdana Mentri Ranil Wickremasinghe.

Akhirnya pada tanggal 22 Februari 2002, kedua belah pihak yang bertikai setuju untuk menandatangani MoU, melalui fasilitatornya, Norwegia yang di wakili oleh Joy Westborg. Sesaat setelah ditandatanganinya perjajian gencatan senjata tersebut, Jan Peterson, Menteri Luar Negeri Norwegia, langsung mengumumkan hal tersebut di Oslo. Gencatan senjata ini merupakan yang pertamakalinya dilakukan di Srilanka, setelah sebelumnya juga pernah dilakukan kesepakatan perdamaian tahun 1995, namun hanya dapat bertahan selama 100 hari. Aspek yang membedakan perjanjian perdamaian di tahun 2002 dengan tahun 1995 adalah di lakukannya pemonitoran yang dilakukan oleh negara-negara penengah terhadap kedua kubu. LTTE dan pemerintah wajib menyerahkan laporan setiap dua minggu, untuk memantau apakah kedua kubu melanggar perjanjian.[3] Untuk itulah di tahun yang sama di bentuk Sri Lanka Monitoring Mission (SLMM). SLMM ini merupakan badan yang di bentuk setelah kedua pihak sepakat dengan adanya pemantauan yang dilakukan oleh negara-negara penengah dan menandatanganinya. Anggota dari SLMM ini ialah Norwegia, Islandia, Swedia, dan Denmark.

            Pasca ditandatanganinya MoU damai, stabilitas keamanan di Srilanka relatif lebih tenang. Meskipun tidak aman sepenuhnya, karena masih terjadi beberapa peristiwa, namun tidak besar. Masyarakat sudah berani mendatangi wilayah utara dan Timur dan sudah mulai dilakukannya renovasi infrastruktur di tempat-tempat yang hancur karena konflik. Renovasi ini dapat berjalan karena sumbangan yang di berikan oleh masyarakat internasional yang diketuai bersama oleh oleh Norwegia, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dalam situasi yang berhasil dkendalikan, pertumbuhan ekonomi mulai dapat ditingkatkan. Berdasarkan dokumen PBB, An Agenda for Peace, membina perdamaian terdiri dari berbagai aktifitas yang berkaitan dengan membina rekonsiliasi, dan perubahan masyarakat. Membina perdamaian merupakan proses panjang setelah konflik yang terjadi mereda atau berhenti. Ini merupakan suatu proses yang terjadi setelah perdamaian dan mempertahankan perdamaian.

Jika kita melihat dalam spektrum konflik dan perdamaian, situasi antara kedua belah pihak sudah berada dalam tahap ketiga, yaitu sudah dimulainya proses termination dan peacekeeping operation, tahap ini dimulai ketika kedua belah pihak telah setuju untuk melakukan gencatan senjata dan mulai adanya tindakan untuk melakukan perundingan perdamaian. Melakukan perundingan perdamaian dengan pihak lawan merupakan suatu usaha diplomatik untuk mengakhiri kekerasan antara kelompok yang bersengketa, mendorong mereka untuk melakukan dialog damai, dimana akhirnya tercapai kesepakatan damai.

Menurut Darby dan Mcginty, terdapat lima kriteria dasar untuk mendefinisikan proses perdamaian, yaitu:

        Pihak yang berlawanan dengan bersikap baik berkehendak untuk berunding

        Tokoh-tokoh kunci diikut sertakan dalam proses

        Pembahasan negosiasi berpusat pada pokok permasalahan

        Peserta negosiasi tidak memaksakan kehendaknya

        Peserta negosiasi beritikad menjaga perdamaian

 

Terdapat tiga alasan sampai akhirnya pemerintah dan LTTE sepakat untuk melakukan gencatan senjata;

  1. Jumlah korban yang terus meningkat dari kedua belah pihak. Laporan jumlah korban yang meninggal dan kehilangan tempat tinggal memiliki angka yang berbeda-beda dari setiap sumber. BBC indonesia melaporkan sekitar 70 ribu orang terluka dan kehilangan tempat tinggal. Banyaknya jumlah korban dan pengungsi membuat Srilanka mendapat kecaman dari masyarakat internasional yang fokus terhadap nilai-nilai HAM.
  2. Dari segi ekonomi, konflik ini sangat menguras budgeting pemerintahan. Pembangunan negara menjadi terhambat karena sebagian besar pendapatan negara dialokasikan kedalam peningkatan persenjataan atau pertahanan negara. Biaya perang yang dikeluarkan pemerintah mencapai $ 1 milyar / tahun (lebih dari 5% GDP) dan menurun drastisnya sektor turisme dan investasi asing di negara ini yang berakibat dalam berkurangnya pendapatan negara yang mencapai 1,4%.
  3. Kelompok LTTE dan pemerintahan sama-sama kuat, sehngga tidak dapat saling mengalahkan. Pemerintah Srilanka bahkan sampai mengatakan bahwa LTTE merupakan organisasi terorisme terkuat di dunia. Kelompok LTTE selalu berhasil meyerang lokasi-lokasi vital negara yang megakibatkan kerugian besar, seperti pengeboman bank sentral, penyerangan terhadap kapal-kapal pemerintahan, dan banyak bom bunuh diri yang salah satunya pernah menewaskan presiden Srilanka.

 

Setelah penandatanganan MoU, meskipun keadaan sudah lebih membaik dari sebelumnya, namun masih terjadi beberapa bom bunuh diri dan konflik bersenjata. Seperti ketika terjadi pemberontakan di badan LTTE yang dipimpin oleh Kolonel Karuna yang melakuan bom bunuh diri dan menewaskan beberapa warga sipil. Selain itu LTTE juga dicurigai meningkatkan kekuatan militernya. Hal-hal seperti ini yang mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan antar kedua belah pihak. Pada bulan Oktober 2003, Pihak LTTE mengajukan proposal Interim Self-Governing Authority (IGSA) yang berisi bahwa LTTE akan memegang pemerintahan sementara pada wilayah Utara dan Timur dengan dasar otonomi penuh. Tapi hal ini tidak disetujui oleh pemerintahan. Karena khawatir dengan sikap pemerintah yang terlalu lemah, Presiden Chandrika membubarkan pemerintahannya pada tahun 2004.

            Dalam pemilu 2004, Mahinda Rajapaksa terpilih sebagai Perdana Menteri Srilanka dan tidak lama kemudian, sebagai presiden. Pada bulan Desember di tahun yang sama, tejadi bencana tsunami yang mengenai bagian Timur dan Selatan Srilanka dan itu termasuk wilayah kekuasaan LTTE.

Kejadian tersebut membuat masyarakat internasional meminta adanya kerjasama yang lebih baik lagi antara pihak LTTE dan Pemerintah. Untuk itulah pada tanggal 24 Januari 2005 kedua belah pihak menandatangani MoU Post Tsunami Oprational Management Structure. MoU tersebut juga diharapkan dapat menyelesaikan pesoalan konflik yang terjadi selama ini. Namun sayangnya -

P-TOMS tidak pernah dapat di implementasikan karena mendapatkan tentangan dari bangsa Sinhala.

Salah satu faktor kemenangan Mahinda Rajapaksa terjadi karena mendapat dukungan yang besar dari kelompok radikal Sinhala. Mereka menentang penyelesaian konflik LTTE dengan cara damai, menuntut pemerintah untuk melakukan operasi militer. Pada dasarnya mereka menuntut penyelesaian konflik dalam negara kesatuan Srilanka, seperti yang terdapat dalam visinya “Mahinda Chintana”.

Pada awal pemerintahannya, Presiden Rajapaksa mengajak LTTE untuk mencari solusi damai. Pihak LTTE menarik diri dari negosiasi perdamaian dan membunuh beberapa personil militer Srilanka. Namun Norwegia berhasil bertindak sebagai negosiator dan membuat perundingan berhasil dilakukan di Jenewa, tanggal 22-23 Februari 2006. Hasilnya, kedua pihak yang berkonflik setuju untuk melanjutkan perdamaian dan menghentikan permusuhan.

            Semua upaya perundingan yang berusaha dilakukan oleh negara negosiator dan pihak yang berkonflik tetap tidak menghentikan serangan-serangan dari kedua belah pihak. Seperti yang dilakukan oleh LTTE ketika mereka melakukan bom bunuh diri di dalam markas besar AD yang kemudian di balas oleh pemerintah dengan memborbardir wilayah Utara dan Timur, sehingga peperangan kembali terjadi. Namun tetap tidak ada yang membatalkan MoU gencatan senjata.

            Totalnya, setelah penandatanganan MoU gencatan senjata, pihak LTTE dan pemerintah telah melakukan pertemuan negosiasi perdamaian sebanyak enam kali. Pemerintahan terus berusaha untuk melakukan negosiasi damai tapi juga tetap menyerang wilayah-wilayah kekuasaan LTTE. Pemerintah Srilanka juga meminta masyarakat internasional untuk mendesak LTTE agar menghentikan teror dan setuju dengan jalur perdamaian yang ditawarkan oleh pemerintah. Sementara itu tujuan LTTE adalah di setujuinya Intering Self- Governing Authority (ISGA) sehingga mereka mendapatkan otonomi penuh di wilayahnya. Karena itulah LTTE tidak akan menghentikan aksi terornya.

            Pada akhirnya pemerintah dengan resmi menarik perjanjian gencatan senjatanya pada tanggal 16 Januari 2008, dengan jumlah korban yang di culik dan di bunuh sebanyak 20 ribu - 30 ribu jiwa, pada tahun 2006 sampai awal 2009.[4] Pembatalan MoU secara otomatis juga turut me-non aktivkan fungsi Sri Lanka Monitoring Mission.

[3] http://www.satp.org/satporgtp/countries/shrilanka/document/papers/memorandum2002.htm. diakses pada tgl       31 Mei 2010, pukul 17:56

[4] www.internationalcrisisgroup.com , diakses pada 28 Mei 2010. pkl 11.34 WIB


 

B. Situasi Srilanka Pasca Pembatalan Perjanjian Perdamaian

Setelah perjanjian perdamaian di batalkan, dengan segera keadaan menjadi semakin buruk. Hal ini dipicu setelah kembalinya Karuna dari penahanannya di Inggris. Karuna langsung aktif dalam perpolitikan dengan bergabung di Tamil Makkal Viduthalai Puligal (TMVP), salah satu organisasi bangsa Tamil. Karuna berhasil memenangkan suara dan membawanya bergabung dengan parlemen.

Pada Januari 2009, pemerintah menyerang tentara LTTE di distrik Mullaitivu yang banyak terdapat rakyat sipil sehingga mengakibatkan 300.000 orang terjebak dalam lokasi peperangan dimana akses air dan makanan sangat terbatas. Pada tanggal 13 Maret 2009 PBB menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di sana, dan meminta kepada kedua belah pihak untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanuasiaan, tapi pemerintah menolak untuk berhenti sejenak dari peperangan. Dalam peristiwa ini PBB mengindikasikan sekitar 7.500 orang meninggal dan lebih dari 15.000 orang yang terluka antara pertengahan Januari sampai awal Mei. Pada minggu terakhir peperangan, di awal Juni media melaporkan sekitar 20.000 orang meninggal tetapi kabar ini di bantah oleh pemerintah.

Mei 2009, pemerintah mengumumkan kemenangannya dengan menunjukkan foto jasad pemimpin LTTE, Velupillai Prabhakaran. Prabhakaran tewas ketika berusaha melarikan diri dari perang bersama dua orang deputinya. Mereka menggunakan mobil ambulans untuk keluar dari daerah konflik, tetapi tentara pemerintah berhasil meroket mobil tersebut.

Dengan kekalahan dari pihak LTTE ini, tentara yakin bahwa mereka telah berhasil menghentikan gerakan separatisme yang terjadi selama 25 tahun ini.

            Meskipun demikian, banyak juga pihak yang merasa bahwa konflik bersenjata dapat terjadi lagi sewaktu-waktu. Konflik yang terjadi di Srilanka sama seperti konflik yang terjadi di Aceh. Dan walaupun membutuhkan waktu, Indonesia berhasil menyelesaikan konflik tersebut dengan jalur diplomasi, dengan mendapatkan bantuan dari mediatornya.

 

 

III. PENUTUP

 

A. KESIMPULAN

            Konflik antar etnis merupakan konflik yang paling sering terjadi di banyak wilayah. Konflik ini seringkali terjadi karena pendiskriminasian etnis secara struktural, pengabaian hak-hak etnis tertentu, dan tidak tersalurkannya kepentingan-kepentingan masyarakat. Konflik yang terjadi di Srilanka merupakan salahsatu contoh konflik etnis yang telah berlangsung selama 25 tahun. Etnis Tamil, sebagai kelompok yang termarjinalkan, menuntut pemerintah untuk melepaskan Srilanka bagian Timur dan Utara dimana disana banyak terdapat bangsa Tamil. Sedangkan pemerintah, yang terdiri dari etnis Sinhala, tidak menyetujui tindakan separatisme tersebut.

            Liberation of Tamil Tigers Eelam (LTTE) merupakan salah satu organisasi yang mewakili etnis Tamil. Organisasi ini sering menggunakan kekerasan dalam melawan pemerintahan, seperti pemboman pada kantor-kantor pemerintahan dan bom bunuh diri. Tigapuluh dua negara telah menganggap organisasi ini sebagai kelompok terorisme.

            Dilain pihak, meskipun selama masa konflik ini Srilanka telah berganti beberapa presiden, tetapi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini seringkali menggunakan cara kekerasan. Usaha negosiasi damai yang di lakukan oleh kedua belah pihak hampir selalu gagal.

Negosiasi damai baru berhasil dilakukan setelah Norwegia diangkat sebagai pihak ketiga dalam konflik ini. Akhirnya pada tahun 2001 kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menandatangani Memorandum of Understanding yang mensepakati dilakukannya gencatan senjata. Selama masa ini pihak pemerintah menawarkan perundingan perdamaian sebanyak enam kali, namun semuanya di tolak oleh LTTE.

            Setelah penandatanganan MoU, tujuan LTTE berubah, dari separatisme menjadi otonomi penuh bagi wilayah Timur dan Utara. Namun draft ini tetap tidak disetujui oleh pemerintah.

Selain itu, mesipun keduanya sepakat untuk melakukan gencatan senjata, tapi konflik bersenjata yang memakan korban masih tetap terjadi. Tapi masing-masing pihak tidak ada yang mencabut kesepakatannya.

            Puncak dari konflk ini terjadi pada awal 2009, ketika akhirnya pemerintah memutuskan untuk memborbardir wilayah kekuasaan Macan Tamil yang berujung pada tewasnya pemimpin Tamil. Presiden Mahinda Rajapaksa yakin bahwa kemenangan ini telah berhasil meredam separatisme di wilayahnya. Ia juga mengkonfirmasi bahwa perang yang dilakukan oleh tentaranya bukanlah perang untuk melawan etnis Tamil, tetapi untuk mengalahkan kelompok separatisme.

Pada akhirnya penulis sampai pada kesimpulan bahwa cara diplomasi tidak berhasil digunakan untuk menyelesaikan konflik Srilangka, meskipun pemerintah berhasil mendatangkan pihak ketiga sebagai penengah konflik, tapi kedua pihak sama-sama tidak mematuhi kesepakatan perdamaian yang telah dibuat. 

 

           

 

 

Daftar Pustaka

 

 

Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah konflik, Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: Rajawali Pers

 

Rupesinghe, Kumar, Khawar Mumtaz. 1996. Internal Conflicts in South Asia. London: Sage Publications

 

http://www.beyondintractability.org/m/peacebuilding.jsp?nid=5154

 

http://www.satp.org/satporgtp/countries/shrilanka/document/papers/memorandum2002.htm -

 

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/02/05/29503-konflik-sri-lanka-telan-52-korban-sipil -  31 Mei 2010 /

 

http://www.antaranews.com/berita/1253127773/pejabat-pbb-kunjungi-sri-lanka-dorong-penyelidikan-ham. 31 Mei 2010/ 19.16

 

http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4198096,00.html.

 

www.internationalcrisisgroup.com

 

 

 

 

 

 



[1] Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah konflik, Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, (Jakarta: Rajawali Pers,2002), hal.47

[2] Kumar Rupesinghe, Khawar Mumtaz, Internal Conflicts in South Asia, London: Sage Publications, 1996), hal.173-176

 

[4] www.internationalcrisisgroup.com , diakses pada 28 Mei 2010. pkl 11.34 WIB